Oleh: Tety Kurniawati
Penulis Lepas
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung membatalkan sebanyak 233 ijazah kelulusan mahasiswa lewat Surat Keputusan Ketua Stikom Bandung nomor surat 481/ Skep-0/ E/ Stikom XII/ 2024 tentang Pembatalan Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung Periode 2018-2023. Para alumni pun berpotensi kuliah kembali dalam rangka perbaikan.
Ketua Stikom Bandung Dedy Djamaluddin Malik menyampaikan, ada permasalahan di kampusnya usai Tim Evaluasi Kerja Akademik (EKA) Kemenristek Dikti melakukan monitoring kinerja periode 2018-2023 (liputan6.com, 16-01-2025).
Problem Dunia Pendidikan
Kasus penarikan Ijazah mahasiswa Stikom menambah panjang deretan problem dunia pendidikan. Terlepas dari pihak mana yang salah dan benar, kasus seperti ini tidak akan terjadi jika sistem pengelolaan pendidikan ditangani dengan profesional. Kebobrokan pendidikan tidak akan memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang.
Namun faktanya, munculnya berbagai praktik lancung di dunia akademik justru tidak terlepas dari regulasi yang menaungi. Sebut saja praktik joki ujian masuk perguruan tinggi, joki karya ilmiah, penyedia jasa layanan yang menfasilitasi keberadaan skripsi maupun jurnal abal-abal instan, penyedia jasa perbaikan penilaian akademik hingga tembak ijazah masih marak ditemui. Seolah jadi praktik yang membudaya dan sulit dihindari.
Ketika regulasi tidak diimbangi dengan paradigma pendidikan yang benar, akan senantiasa ada saja akademisi yang ingin berprestasi dengan cara instan dan haram. Motifnya bisa beraneka ragam. Mulai dari menginginkan popularitas, mengejar jabatan, insentif, gengsi ataupun formalitas dalam rangka memenuhi syarat mendapat tunjangan yang diharapkan.
Hal yang membuktikan bahwa dunia pendidikan tengah penuh dengan masalah. Berawal dari salah paradigma. Salah arah pendidikan menjadi niscaya. Output pendidikan yang bermasalah pun jadi konsekuensinya.
Sistem Kapitalisme Sekuler Biang Kerusakan
Rentannya dunia pendidikan untuk dikapitalisasi, merupakan buah penerapan sistem hari ini. Pendidikan dianggap layaknya komoditas bisnis yang menjanjikan keuntungan materi. Sementara sekularisme yang menjadi denyut nadi sistem, memastikan pemisahan agama dari kehidupan. Halal haram tak lagi jadi standar. Akibatnya, kesuksesan dan kebahagiaan ditentukan oleh pencapaian duniawi sebagai tolak ukur.
Wajar jika keberadaan paradigma tersebut meniscayakan pendidikan yang hanya berorientasi pada kuantitas lulusan dan terserapnya mereka di dunia kerja. Sedang aspek kualitas dan kepribadian mulia tak pernah jadi prioritasnya. Peserta didik khususnya mahasiswa akhirnya hanya fokus kuliah, mendapat ijazah dan mendapatkan pekerjaan saja. Kemuliaan karena berpegang teguh pada ajaran agama pun sirna.
Dilain sisi, paradigma kapitalisme telah mengerdilkan peran negara sebatas regulator semata. Dimana prinsip kemaslahatan subyektif menjadi nafas aktivitasnya. Alhasil, peluang penyelewengan terbuka di seluruh sektor dan level. Mulai dari penguasa dengan kebijakannya, institusi pendidikan, pelaku pendidikan (guru, akademisi dan dosen) maupun peserta didik (siswa dan mahasiswa).
Semuanya merujuk pada kesimpulan bahwa masalah pendidikan hari ini tak lagi bersifat kasuistik tapi sistemik. Maka kerusakan yang ada, tak cukup ditangani secara tambal sulam. Semisal, pemberian sanksi bagi pelanggar, ganti menteri ganti kurikulum, atau sekedar solusi teknis yang jauh dari akar persoalan. Sudah saatnya kegagalan sistemik di akhiri. Agar kerusakan yang ada dapat diperbaiki, praktik lancung tak lestari dan terjaganya kualitas generasi.
Pendidikan dalam Islam
Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah kebutuhan dasar yang harus ditanggung oleh negara. Maka wajib baginya menyediakan pendidikan berkualitas bebas biaya dan dapat diakses seluruh lapisan masyarakat. Baik kaya maupun miskin. Apapun agama, keyakinan, ras, suku bangsa dan status sosialnya, setiap warga negara memiliki hak mendapat layanan pendidikan yang sama.
Islam memiliki mekanisme untuk menjamin ketersediaan layanan publik tersebut dengan sumber dana kuat sesuai aturan syariat. Sumber-sumber pemasukan negara dari sektor kepemilikan umum, seperti hasil pengolahan sumber daya alam akan lebih dari cukup untuk menutup kebutuhan dana bagi layanan pendidikan terbaik. Termasuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya yang menjaga kemaslahatan umat.
Akidah Islam menjadi pondasi penyelenggaraan sistem pendidikan. Oleh karenanya, semua regulasi kependidikan senantiasa berpatokan pada standar halal dan haram. Taat aturan Allah pun menjadi keniscayaan dikalangan penyelenggara pendidikan. Tak terkecuali dalam menjaga kualitas dan kredibilitas institusi pendidikan. Bahkan negara hadir untuk menjamin dan mengawasi semua berjalan berdasarkan syariat Islam. Tidak akan ada kasus penarikan Ijazah yang membuat resah rakyat. Semua hanya bisa terwujud saat syariat Islam Kaffah diterapkan dalam kehidupan. Wallahu a'lam bishawwab.
0 Komentar