PAGAR LAUT PIK-2: POTRET KUASA OLIGARKI DAN ANCAMAN NEGARA DALAM NEGARA


Oleh: Alex Syahrudin
Penulis Lepas

Polemik mengenai pagar laut PIK-2 terus menuai perhatian publik. Setelah masyarakat bereaksi keras, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid akhirnya buka suara. Ia mengonfirmasi bahwa pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten, telah bersertifikat dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Fakta ini semakin menegaskan adanya persoalan serius dalam tata kelola ruang di wilayah tersebut.


Sertifikasi di Atas Laut

Menurut Nusron, terdapat 263 sertifikat HGB yang diterbitkan, terdiri dari 234 bidang atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang SHM atas nama perorangan. PT Intan Agung Makmur diketahui berafiliasi dengan PIK-2 (Agung Sedayu Group), sementara PT Cahaya Inti Sentosa merupakan anak usaha dari PT PANI (Pantai Indah Kapuk 2).

Sementara itu, pemilik 9 bidang SHM di atas laut tidak dijelaskan secara detail. Namun, sejumlah nama seperti A. Ghojali, Fredy, dan Hendry, yang terhubung dengan tokoh utama seperti Ali Hanafiah Lijaya (orang kepercayaan Aguan), diduga memiliki kaitan erat dengan proyek ini. Semua ini menunjukkan bahwa sertifikasi tersebut merupakan bagian dari persiapan lahan untuk kepentingan bisnis properti yang menguntungkan segelintir oligarki.


Dari Sertifikat hingga Restorasi Laut

Dalih penerbitan sertifikat atas lahan terdampak abrasi menjadi celah untuk memulai proyek ini. Setelah area laut dipagari, lahan tersebut akan direklamasi untuk pembangunan properti mewah yang dijual dengan harga fantastis. Proses ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari pejabat desa, kecamatan, notaris, hingga BPN, dengan indikasi adanya kolusi dan korupsi.

Praktik ini bukan sekadar pengelolaan ruang, tetapi bentuk perampasan sumber daya negara yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif oleh aktor-aktor oligarki seperti Aguan dan Anthony Salim.


Ancaman Negara dalam Negara

Terbitnya sertifikat di atas laut menunjukkan adanya entitas yang lebih berkuasa dibandingkan otoritas negara. Pejabat di berbagai tingkat tampak tunduk bukan pada konstitusi, tetapi kepada sosok Aguan. Kondisi ini memunculkan istilah “Negara dalam Negara,” di mana oligarki seperti Aguan dan Anthony Salim mengendalikan kebijakan, bahkan memengaruhi institusi negara.

Situasi ini semakin nyata dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 754/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Pst. Gugatan ini mempersoalkan pagar laut yang menghalangi akses nelayan hingga adanya entitas negara dalam negara yang mengancam pertahanan dan keamanan nasional.


Rakyat Harus Bersatu Melawan

Kasus PIK-2 menjadi potret nyata bagaimana sumber daya negara dikooptasi oleh oligarki. Setelah tanah dan tambang dikuasai, kini laut pun menjadi target eksploitasi. Rakyat harus bersatu untuk melawan praktik semacam ini, menjaga kedaulatan negara, dan memastikan bahwa sumber daya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, bukan segelintir elit.

Melalui kasus ini, kita diingatkan bahwa hanya dengan keberanian dan kesatuan rakyat, dominasi oligarki dapat dihentikan. Saatnya melawan demi menjaga kedaulatan negeri ini!

Posting Komentar

0 Komentar