OCCRP JADIKAN JOKOWI SEBAGAI TOKOH DUNIA TERKORUP 2024


Oleh: Rika Dwi Ningsih
Jurnalis Lepas

Masuknya Joko Widodo (Jokowi) sebagai finalis nominasi tokoh dunia terkorup versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Para pendukung Jokowi, termasuk Projo, Bara JP, Budi Gunawan, hingga Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dengan tegas menolak tuduhan tersebut. Mereka menilai tuduhan itu sebagai framing menyesatkan, laporan tidak akurat, hingga serangan terhadap muruah mantan presiden. Namun, di balik berbagai pembelaan ini, ada sejumlah pertanyaan mendasar yang patut diangkat.


Menakar Kredibilitas OCCRP dan Reaksi Berlebihan

OCCRP adalah lembaga jurnalistik investigasi internasional yang memiliki reputasi dalam membongkar kejahatan terorganisasi dan korupsi. Meski mekanisme nominasi mereka mengandalkan polling yang dapat bias, keberadaan Jokowi dalam daftar tersebut tentu bukan tanpa alasan. Pernyataan OCCRP tentang pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sistem demokrasi di Indonesia selama era kepemimpinan Jokowi memberikan indikasi adanya persoalan serius yang perlu ditelaah lebih jauh.

Namun, respons dari para pendukung Jokowi justru lebih terfokus pada penolakan, bahkan rencana langkah hukum yang seolah bertujuan membungkam kritik. Langkah ini mengesankan ketidakmampuan untuk menerima masukan, sekaligus menciptakan preseden buruk bagi kebebasan berpendapat. Tuduhan framing atau fitnah yang dilontarkan tanpa mendiskusikan substansi kritik terhadap pelemahan KPK maupun sistem demokrasi hanya memperkuat kesan defensif tanpa dasar kuat.


Pelemahan KPK: Fakta atau Fitnah?

Di bawah kepemimpinan Jokowi, KPK mengalami serangkaian pelemahan yang signifikan, mulai dari revisi UU KPK pada 2019 hingga pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang memberhentikan sejumlah penyidik senior. Langkah-langkah ini dikritik luas sebagai upaya mengurangi independensi lembaga tersebut. Dampaknya, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami stagnasi, bahkan penurunan, sebagaimana diulas oleh media internasional seperti South China Morning Post (SCMP) dan The Australian.

Pelemahan ini menjadi salah satu alasan utama munculnya persepsi negatif terhadap Jokowi, meskipun ia tidak secara langsung terlibat dalam tindakan korupsi pribadi. Oleh karena itu, alih-alih sekadar membantah nominasi ini, pendukung Jokowi seharusnya merenungkan sejauh mana kebijakan-kebijakan selama pemerintahannya berkontribusi pada merosotnya kredibilitas pemberantasan korupsi di Indonesia.


Dinasti Politik dan Kontroversi Demokrasi

Tak bisa dipungkiri, kontroversi dinasti politik juga memperburuk persepsi publik terhadap Jokowi. Langkah Mahkamah Konstitusi yang memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2024 dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan keluarga. Hal ini menambah daftar panjang kritik terhadap upaya Jokowi menjaga pengaruh politiknya pasca lengser.


Menghadapi Kritik dengan Transparansi

Jokowi dan pendukungnya memiliki peluang untuk menghadapi kritik ini dengan cara yang lebih elegan: transparansi dan introspeksi. Jika tuduhan korupsi tidak memiliki bukti kuat, sebagaimana dinyatakan OCCRP, maka Jokowi dapat menggunakan momentum ini untuk merefleksikan kelemahan dalam pemerintahannya, termasuk pelemahan institusi penegak hukum dan masalah dinasti politik.


Kesimpulan

Nominasi Jokowi sebagai tokoh terkorup 2024 seharusnya tidak hanya dilihat sebagai serangan pribadi atau framing jahat. Ini adalah cermin yang memantulkan persepsi publik, baik domestik maupun internasional, tentang kondisi pemberantasan korupsi dan demokrasi di Indonesia selama kepemimpinannya. Daripada sekadar defensif, pemerintahan Jokowi dan para pendukungnya sebaiknya menerima kritik ini sebagai pengingat bahwa kepemimpinan tidak hanya diukur dari pembangunan fisik, tetapi juga dari penguatan integritas institusi dan realitas.

Posting Komentar

0 Komentar