MENGUAK POLEMIK PAGAR LAUT PIK-2: NEGARA, OLIGARKI, DAN KEDAULATAN YANG TERKIKIS


Oleh: Alex Syahrudin
Jurnalis Lepas

Polemik pagar laut Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2) kembali menjadi sorotan publik. Dalam diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC), Rabu (22/1), yang tayang pada Kamis (23/1), disampaikan bahwa langkah pemerintah membongkar pagar laut PIK-2 patut diapresiasi. Namun, upaya ini dinilai jauh dari kata prestasi. Pasalnya, pagar laut sepanjang 30,16 km ini mengonfirmasi bahwa negara telah kalah dalam menghadapi oligarki.


Negara Hadir, Tapi Terlambat

Upaya pemerintah membongkar pagar laut ini menunjukkan negara mulai kembali hadir untuk rakyat, meski dalam skala kecil. Pagar yang dibongkar sejauh ini hanya sekitar 2 km, sangat minim dibandingkan panjang totalnya. Seperti disampaikan oleh Said Didu, proses pembongkaran menghadapi kendala teknis, mengingat pagar laut ditancapkan dengan alat berat. Proses pencabutan manual dengan tambang kapal tidaklah cukup efektif.

Sayangnya, jika negara hadir lebih dini, saat pagar baru terpasang 1-4 meter, langkah ini mungkin dianggap sebagai prestasi besar. Namun kini, tindakan pemerintah terlihat hanya sebagai “pemadam kebakaran” yang bergerak setelah kemarahan publik meluas.


Misteri Pagar Laut: Siapa Dalangnya?

Misteri pagar laut ini sejak awal menimbulkan banyak pertanyaan. Publik tidak pernah mendapatkan kejelasan siapa yang membangun pagar ini, siapa pendananya, dan untuk kepentingan apa. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa pagar ini dibangun oleh Mandor Memet atas permintaan Eng Cun alias Gojali, dengan dana dari Ali Hanafiah Lijaya, yang bekerja untuk Aguan, pemilik proyek PIK-2. Namun, hingga kini pemerintah belum menindaklanjuti informasi tersebut.

Lebih parah lagi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sempat memanggil pihak yang mengaku pagar ini dibangun secara swadaya masyarakat, sebuah klaim yang jelas tidak masuk akal.


Transparansi Sertifikat yang Dipertanyakan

Salah satu langkah pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) adalah membatalkan sertifikat di atas laut. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa dari 263 Hak Guna Bangunan (HGB) dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM), sejumlah sertifikat telah dibatalkan karena berada di luar garis pantai. Namun, detail sertifikat yang dibatalkan dan diselamatkan tidak pernah dipublikasikan.

Lebih mengkhawatirkan, pembatalan ini hanya difokuskan di Desa Kohod, Kecamatan Paku Haji, Kabupaten Tangerang, padahal pagar laut membentang hingga 30,16 km melintasi berbagai desa di Kabupaten Tangerang. Publik menduga bahwa langkah ini hanya upaya simbolis untuk meredam keresahan masyarakat, sementara kepentingan oligarki tetap dilindungi.


Proyek PIK-2: Perampasan Darat dan Laut

Persoalan pagar laut hanya satu bagian dari masalah besar yang ditimbulkan proyek PIK-2. Di daratan, proyek ini juga melakukan perampasan tanah rakyat, fasilitas umum seperti sungai, jalan, dan jembatan, dengan modus intimidasi, ancaman, dan kriminalisasi. Negara tampak abai, membiarkan kedaulatan tanah dan laut dijarah demi kepentingan segelintir oligarki.


Tuntutan Rakyat: Negara Harus Tegas

Melihat kenyataan ini, tuntutan rakyat jelas:
  • Hentikan proyek PIK-2, baik di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN) maupun di luar PSN;
  • Lakukan audit menyeluruh terhadap kinerja, keuangan, dan legalitas proyek PIK-2;
  • Tangkap pihak-pihak yang terlibat, termasuk Mandor Memet, Eng Cun, Ali Hanafiah Lijaya, Aguan, dan Anthony Salim;
  • Pecat dan pidanakan pejabat yang terlibat dalam kolusi dan korupsi terkait proyek ini.


NKRI atau NKRA?

Kejadian ini menjadi cermin betapa lemahnya negara dalam melindungi kedaulatan dan hak rakyatnya. Jika pemerintah tidak tegas, bukan tidak mungkin Indonesia berubah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Kesatuan Republik Aguan (NKRA). Negara harus membuktikan bahwa kepentingan rakyat lebih utama daripada kepentingan oligarki.

Posting Komentar

0 Komentar