KRITIK ATAS PAJAK DALAM SISTEM KAPITALISME DAN PERSPEKTIF ISLAM


Oleh: Yusi Susanti
Pemerhati Kebijakan Publik

Pajak telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, sebagaimana dikatakan oleh Benjamin Franklin, "In this world, nothing can be said to be certain, except death and taxes." Pandangan ini menegaskan keharusan pajak sebagai elemen esensial dalam sistem ekonomi kapitalisme, terutama sebagai sumber utama penerimaan negara. Namun, kenaikan pajak, seperti yang terlihat dalam PPN 12% yang diberlakukan pada Januari 2025 telah memunculkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.

Kenaikan pajak dikemukakan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 akan tetap dilaksanakan. (CNBCIndonesia, 25/11/2024)

Kenaikan pajak secara langsung meningkatkan harga barang, mengurangi daya beli masyarakat, dan menurunkan kesejahteraan, terutama di tengah situasi ekonomi yang sulit. Sepanjang 2024, tercatat 80.000 orang kehilangan pekerjaan, memicu kekhawatiran atas peningkatan kriminalitas akibat tekanan ekonomi. Meski pemerintah menjanjikan kompensasi sosial bagi kelompok rentan, dampak ini tetap tidak bisa diabaikan.

Dalam kapitalisme, pajak menyumbang sekitar 80,32% dari pendapatan negara (BPS, 2023). Angka ini menunjukkan ketergantungan besar pada kontribusi masyarakat dibandingkan potensi sumber daya alam (SDA) yang hanya menyumbang sekitar 20%. Negara-negara seperti Indonesia, yang memiliki SDA melimpah, seharusnya mampu mengoptimalkan kekayaan alam sebagai sumber pendapatan utama.

Dalam Islam, pajak bukanlah sumber penerimaan utama negara. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal menjelaskan bahwa penerimaan negara berasal dari pos seperti anfal, ganimah, fai, khumus, zakat, kharaj, dan jizyah. Pajak hanya diberlakukan ketika kas Baitul Mal kosong dan hanya ditujukan kepada orang kaya (aghniya), yang memenuhi kriteria kekayaan setelah kebutuhan pokoknya terpenuhi.

Pembiayaan melalui pajak dalam Islam diarahkan untuk:
  • Jihad dan kebutuhan militernya.
  • Industri militer.
  • Bantuan kepada kaum fakir miskin dan ibnu sabil.
  • Pembayaran gaji tentara, pegawai negara, hakim, dan guru.
  • Kepentingan umat secara luas.
  • Keadaan darurat seperti bencana.

Islam mengkritik keras sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai penopang utama perekonomian. Islam menegaskan bahwa dalam syariat telah menetapkan aturan yang lebih adil, memprioritaskan pendapatan negara dari sumber lain sebelum membebankan pajak kepada rakyat. Pajak dalam Islam bersifat sementara, spesifik, dan hanya berlaku pada kondisi tertentu. Dengan demikian, sistem Islam menawarkan solusi yang lebih manusiawi dan adil dibandingkan kapitalisme dalam mengelola penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Wallahualam bishowab

Posting Komentar

0 Komentar