KM 50 HINGGA KM 45, MEMBUAT MASYARAKAT SEMAKIN SKEPTIS?


Oleh: Alex Syahrudin
Penulis Lepas

Kinerja kepolisian di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam, terutama terkait sejumlah peristiwa yang menimbulkan polemik dan mempertanyakan integritas serta profesionalitas institusi tersebut. Mulai dari tragedi penembakan di KM 50 pada 2020, hingga kasus serupa di KM 45 pada awal 2025, pola narasi yang dihadirkan sering kali dinilai merugikan korban dan cenderung membela pelaku. Ditambah dengan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka kasus hukum tertentu, publik semakin skeptis terhadap keadilan yang diharapkan dari institusi penegak hukum ini.


Tragedi KM 50: Praduga Tak Bersalah yang Ditinggalkan

Kasus penembakan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 pada 7 Desember 2020 menjadi contoh nyata bagaimana asas praduga tak bersalah diabaikan. Dalam narasi yang dihadirkan pihak kepolisian, korban justru diposisikan sebagai penjahat yang layak ditembak mati demi melindungi aparat. Hal ini ditegaskan melalui pernyataan Kombes Purn Dr. Warasman Marbun, ahli kepolisian dari Universitas Bhayangkara, yang menyebutkan bahwa “lebih baik penjahat mati daripada petugas.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keenam laskar tersebut bukan buronan, tersangka, atau bahkan terperiksa. Mereka hanya mengawal ulama dan tidak bersenjata. Narasi yang menggiring opini publik untuk membenarkan tindakan kekerasan aparat ini diperkuat dengan tagar seperti #KM50PetugasTidakSalah yang sempat trending di media sosial.


KM 45: Cerita Berulang dengan Narasi Berbeda

Pada 2 Januari 2025, insiden penembakan kembali terjadi di KM 45 Tol Merak-Tangerang. Ilyas Abdul Rahman, seorang pemilik rental mobil, tewas setelah terkena tembakan yang dilepaskan oleh Sertu AA, prajurit TNI AL. Pihak TNI mengklaim penembakan terjadi karena pengeroyokan terhadap anggotanya oleh 15 orang tak dikenal. Namun, klaim ini dibantah oleh anak korban, Rizky Agam Syahputra, yang menegaskan bahwa tidak ada pengeroyokan dan pihaknya hanya berupaya melakukan pendekatan persuasif terhadap pelaku penggelapan mobil.

Keterangan yang diberikan oleh Kapolda Banten Irjen Suyudi Ario Seto juga tidak menyebutkan adanya pengeroyokan, melainkan hanya “tarik-menarik” di lokasi kejadian. Fakta yang kontradiktif ini semakin menimbulkan tanda tanya besar terkait transparansi penyelidikan.


Ketidakadilan dalam Penegakan Hukum

Tidak hanya kasus penembakan, kritik terhadap kepolisian juga mencuat dalam penanganan kasus-kasus hukum lainnya. Perlakuan terhadap aktivis seperti Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, dan Anton Permana menjadi bukti adanya diskriminasi. Ketiganya ditangkap dengan pasal-pasal “karet” seperti UU ITE dan pasal SARA, sementara pelaku ujaran kebencian seperti Ade Armando, Abu Janda, dan Deni Siregar dibiarkan bebas meskipun tindakannya dinilai lebih provokatif.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyoroti perlakuan aparat terhadap tersangka aktivis ini. Ia menyebut penahanan dan tindakan pemborgolan yang disiarkan ke publik sebagai bentuk ketidakbijaksanaan aparat. “Polisi harus mencari orang jahat, bukan orang yang sekadar ‘salah’,” ujarnya.


Dua Standar dalam Penanganan Kasus

Kasus lain seperti perlakuan terhadap Brigjen Prasetijo Utomo, yang terlibat dalam skandal Djoko Tjandra, juga menunjukkan adanya standar ganda. Prasetijo tetap diperbolehkan mengenakan seragam polisi tanpa diborgol, berbeda dengan perlakuan terhadap aktivis dan tersangka kasus lain yang lebih ringan. Ketidakkonsistenan ini mencerminkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum.


Tuntutan untuk Reformasi dan Akuntabilitas

Rangkaian peristiwa ini menegaskan perlunya reformasi mendalam dalam tubuh kepolisian dan institusi penegak hukum lainnya. Transparansi, akuntabilitas, dan penghapusan budaya abuse of power menjadi tuntutan utama. Publik membutuhkan kepolisian yang tidak hanya kuat secara institusional, tetapi juga berintegritas dan adil dalam menjalankan tugasnya.

Kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum adalah pondasi utama dari negara hukum. Tanpa perbaikan menyeluruh, skeptisisme terhadap kepolisian hanya akan semakin dalam, dan harapan terhadap keadilan yang sejati akan semakin jauh dari kenyataan.

Posting Komentar

0 Komentar