Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas
TikTok telah menjadi salah satu aplikasi paling populer di dunia, termasuk di Indonesia. Dari anak muda hingga orang tua, semua larut dalam platform ini untuk mencari hiburan, inspirasi, atau sekadar menghabiskan waktu. Namun, di balik kepopulerannya, TikTok perlahan membentuk standar hidup baru yang kerap membuat banyak orang merasa tertinggal jika tidak mampu mengikuti tren.
Budaya Flexing dan Standar Hidup yang Tidak Realistis
Salah satu tren yang mencolok di TikTok adalah budaya flexing atau pamer kekayaan. Video tentang unboxing barang mewah, nongkrong di kafe estetik, hingga liburan ke destinasi viral menjadi pemandangan biasa di For You Page (FYP). Hal ini menciptakan ilusi standar hidup tinggi yang tidak realistis bagi mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di tengah realitas UMR yang masih di bawah Rp3 juta di banyak daerah.
Tekanan sosial ini memicu perilaku konsumtif yang membahayakan. Banyak orang rela berutang, menabung habis-habisan, atau bahkan mengorbankan kebutuhan pokok demi tampil "keren" di media sosial. Ironisnya, tidak sedikit dari konten tersebut yang hanya berupa kepalsuan, barang yang dipamerkan disewa, atau gaya hidup mewah yang sebenarnya hanya untuk konten semata.
Fear of Missing Out (FOMO): Penyakit Mental Baru
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) semakin subur di TikTok. Secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk tidak ingin ketinggalan tren yang sedang populer, terutama dalam budaya kolektif seperti di Indonesia. Algoritma TikTok yang terus mendorong konten viral hanya memperparah masalah ini.
Contoh yang paling jelas adalah tren pembelian iPhone terbaru. Banyak orang membeli produk ini bukan karena kebutuhan, tetapi semata-mata demi status sosial. Ketika konsumsi dilakukan berdasarkan hasrat untuk memenuhi ekspektasi sosial, rasa syukur dan kesadaran akan prioritas hidup pun tergeser.
Eksploitasi Kemiskinan sebagai Konten
Fenomena lain yang mencemaskan adalah eksploitasi kemiskinan di TikTok. Banyak konten kreator membuat video pemberian bantuan kepada orang miskin, namun dengan merekam seluruh prosesnya. Meskipun niatnya tampak baik, praktik ini sering kali menjadikan kemiskinan sebagai komoditas untuk mendulang perhatian.
Dampaknya adalah dua sisi. Pertama, masyarakat mulai melihat kemiskinan sebagai hiburan atau alat viral, bukan sebagai masalah serius yang membutuhkan solusi nyata. Kedua, stigma negatif terhadap orang miskin semakin kuat. Mereka dipersepsikan sebagai lemah atau malas, padahal ada banyak faktor struktural seperti akses pendidikan dan kebijakan ekonomi yang turut memengaruhi.
Islam dan Solusi untuk Mengatasi FOMO dan Konsumtif
Dalam Islam, perilaku konsumtif dan rasa iri terhadap duniawi jelas bertentangan dengan prinsip qana’ah (rasa cukup). Islam mengajarkan umatnya untuk bersyukur atas apa yang dimiliki dan tidak tergoda oleh gemerlap dunia. Firman Allah dalam Surah Al-Hadid ayat 20 mengingatkan:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (QS. Al-Hadid Ayat 20)
Selain itu, konsep zakat dan infak dalam Islam juga menekankan pentingnya pemerataan ekonomi. Jika tren eksploitasi kemiskinan diubah menjadi langkah nyata untuk mengangkat derajat orang-orang miskin, maka konten sosial di TikTok bisa menjadi sarana pemberdayaan, bukan sekadar viralitas kosong.
Kesimpulan
TikTok, dengan segala potensinya, memiliki sisi gelap yang tidak boleh diabaikan. Budaya flexing, FOMO, dan eksploitasi kemiskinan adalah masalah yang harus ditangani dengan kesadaran kolektif. Masyarakat Indonesia perlu kembali pada prinsip hidup yang mendahulukan kebutuhan daripada keinginan.
Di sisi lain, pendidikan literasi digital dan ekonomi sangat penting untuk mengurangi dampak buruk media sosial. Islam menawarkan panduan hidup yang relevan dan solutif dalam menghadapi fenomena ini, termasuk dalam mengedepankan rasa syukur, kesederhanaan, dan keadilan sosial. Jangan biarkan algoritma media sosial mengontrol hidup Anda, tetaplah fokus pada hal-hal yang benar-benar penting untuk masa depan dunia dan akhirat kita, jangan sampai terkecoh.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar