![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxx1GL9jWiRpswUKwq4gaMCESRh1yMPtiRTxVJm4R8gk8SW94DcDsj-2Heq1wtptZz4-Qu2b8zMV-WILwQ228WiaKRGlXBjBIFrYl3dWvRn0E_ZKhzxpoairjSaNb22mpbIigfLgy2zU1_hdB6al7-Lu8C2dB3ktPfwflw6XbP-KlhOMJjJ8CMFS_S/s16000/Gudang-Opini-Polsek-Pik-2.jpg)
Oleh: Alex Syahrudin
Pengamat Kebijakan Publik
Hingga hari ini, Sabtu (25/1), institusi Polri belum mengeluarkan rilis resmi terkait kasus kejahatan korporasi pagar laut PIK-2. Keheningan ini memunculkan banyak pertanyaan, terutama mengingat Polri biasanya sigap mengadakan konferensi pers untuk kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, bahkan yang skalanya lebih kecil. Lantas, apa yang menghambat Polri dalam menangani kejahatan sebesar ini, yang jelas-jelas mengancam kedaulatan negara?
Pagar Laut PIK-2: Kejahatan yang Tidak Bisa Dibiarkan
Kasus pagar laut PIK-2 tidak hanya terkategori kejahatan korporasi terhadap kedaulatan negara, tetapi juga masuk dalam ranah penegakan hukum, yang semestinya menjadi tanggung jawab Polri. Dalam kasus ini, tugas Polri bukan hanya mengamankan lokasi tetapi juga menyelidiki secara tuntas siapa aktor utama di balik pembangunan pagar laut tersebut, termasuk mengungkap motif dan tujuan mereka.
Presiden Prabowo Subianto sendiri telah memberikan instruksi tegas: segel, cabut, dan usut. Instruksi ini sebagian telah dilaksanakan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel pagar laut, sementara pembongkaran dilakukan oleh lembaga terkait seperti TNI AL, Bakamla, dan KKP yang turut melibatkan nelayan. Namun, aspek "usut" yang menjadi tugas utama Polri tampaknya mandek di tengah jalan. Belum ada langkah konkret seperti konferensi pers resmi atau tindakan permulaan lainnya dari pihak kepolisian.
Sertifikat Palsu di Laut: Masalah Sistemik yang Harus Diusut
Selain pembangunan pagar laut, muncul pula masalah serius terkait penerbitan sertifikat tanah di laut, baik berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) maupun Sertifikat Hak Milik (SHM). Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menemukan sejumlah sertifikat cacat secara prosedural dan material, yang kini dalam proses pembatalan. Secara hukum, pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat palsu ini, termasuk pejabat desa, kecamatan, notaris, hingga korporasi, wajib diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban.
Ada lima kategori pihak yang patut diusut:
- Pejabat Desa yang menandatangani dokumen terkait, termasuk rekayasa data girik, surat keterangan tidak sengketa, hingga penguasaan fisik secara sporadis.
- Pejabat Kecamatan, Notaris, dan KJPP, yang terlibat dalam transaksi jual beli tanah laut.
- Pihak-pihak transaksi jual beli laut, yang mencakup pembuat girik fiktif, figur palsu dalam transaksi, hingga korporasi seperti PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa.
- Pihak-pihak yang membiarkan pembangunan pagar laut, termasuk aparat dari desa hingga lembaga negara.
- Pelaksana pembangunan pagar laut, seperti individu tertentu yang diketahui bekerja untuk Agung Sedayu Group.
Keterlibatan Agung Sedayu Group: Konflik Kepentingan di Tubuh Polri
Salah satu penyebab mandeknya penyelidikan kasus ini diduga karena konflik kepentingan di tubuh Polri. Pada 5 April 2023, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meresmikan pembangunan gedung Batalion A Brimob Polda Metro Jaya di PIK-2, yang dibangun atas hibah dari Agung Sedayu Group (ASG). Bantuan ini memunculkan dugaan bahwa Polri merasa "berutang budi" kepada pengembang tersebut. Kesan ini semakin menguat ketika Polri tidak menunjukkan langkah tegas untuk menyelidiki kasus pagar laut, meskipun pelanggaran yang terjadi sangat serius.
Jika benar keterlibatan ASG menjadi penghambat, maka hal ini menunjukkan lemahnya independensi Polri. Kepercayaan publik pada institusi penegak hukum ini tentu akan terus menurun jika tidak ada tindakan nyata. Bahkan, ada anggapan bahwa Polri baru akan bekerja secara profesional apabila terjadi pergantian pucuk kepemimpinan.
Solusi: Tegakkan Hukum Tanpa Pandang Bulu
Kasus pagar laut PIK-2 adalah ujian besar bagi integritas Polri dan penegakan hukum di Indonesia. Kejahatan ini tidak hanya mencerminkan penyalahgunaan wewenang, tetapi juga bentuk penghancuran kedaulatan negara oleh kepentingan korporasi. Oleh karena itu, langkah-langkah berikut harus segera diambil:
- Polri harus segera mengadakan konferensi pers resmi dan memulai penyelidikan terbuka.
- Semua pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat palsu, pembangunan pagar laut, dan transaksi jual beli tanah laut harus diusut tanpa pandang bulu.
- Pemerintah harus memastikan bahwa kepentingan korporasi tidak lagi mencederai independensi aparat penegak hukum.
- Publik perlu terus mengawal proses hukum agar transparansi dan akuntabilitas terjamin.
Jika Polri tidak mampu membuktikan komitmen pada penegakan hukum, maka reformasi besar-besaran dalam institusi ini menjadi kebutuhan mendesak. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Keadilan harus ditegakkan, meskipun itu berarti menghadapi mereka yang memiliki pengaruh besar di negeri ini. Wallahu a’lam.
0 Komentar