Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas
Harvey Moeis baru-baru ini dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara atas keterlibatannya dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah. Vonis ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang meminta hukuman 12 tahun penjara. Selain hukuman penjara, ia diwajibkan membayar denda sebesar Rp1 miliar, yang jika tidak dibayar akan diganti dengan kurungan enam bulan. Harvey juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar, dan jika tidak mampu melunasi, hartanya akan disita serta dilelang. Bila masih tidak mencukupi, hukuman penjara tambahan akan dijatuhkan.
Namun, vonis ini menuai kritik luas. Kasus ini melibatkan kerugian negara hingga Rp300 triliun, angka yang fantastis dan mencerminkan dampak masif korupsi terhadap perekonomian bangsa.
Perbandingan dengan Hukuman di Tiongkok
Kritik terhadap ringannya hukuman Harvey Moeis semakin kuat setelah publik membandingkannya dengan kasus Jianping di Tiongkok. Jianping terbukti melakukan korupsi sebesar 3 miliar yuan (setara Rp6,7 triliun) dan dijatuhi hukuman mati pada 17 Desember 2024. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen dan keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Mengapa Korupsi Kian Subur?
Korupsi menjadi masalah kronis di Indonesia, merambah hampir semua institusi negara. Meski setiap pemimpin politik selalu berjanji memberantas korupsi, faktanya jumlah kasus dan nominal kerugian akibat korupsi terus meningkat. Dahulu, korupsi berkisar ratusan juta rupiah, kini angkanya mencapai ratusan triliun. Lalu, apa yang salah?
Sekularisme yang Melemahkan Moralitas
Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara telah mencabut nilai-nilai agama dari praktik pemerintahan. Pejabat dan penguasa kehilangan kontrol internal berupa ketakwaan yang seharusnya mencegah mereka dari perbuatan dosa. Akibatnya, tindakan diukur berdasarkan keuntungan materi, bukan lagi berdasarkan nilai halal dan haram.
Budaya individualistik yang lahir dari sekularisme juga menghilangkan kontrol eksternal masyarakat. Ketika masyarakat enggan peduli terhadap tindakan korupsi yang dilakukan berjamaah, maka korupsi semakin subur.
Demokrasi dan Politik Transaksional
Sistem demokrasi yang mahal memicu politik transaksional. Para calon pejabat memerlukan biaya besar untuk memenangkan pemilu, sering kali didukung oleh cukong politik. Setelah terpilih, pejabat cenderung mengutamakan pengembalian investasi politik dibanding kesejahteraan rakyat. Kondisi ini membuka peluang korupsi di berbagai program pemerintah.
Hukuman yang Tidak Memberi Efek Jera
Hukuman bagi koruptor di Indonesia sering kali tidak setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan. Fasilitas mewah di penjara khusus koruptor juga semakin mengikis rasa keadilan masyarakat. Hukuman ringan seperti yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.
Solusi Islam
Islam memandang korupsi sebagai pengkhianatan (khianat) dan mengharamkannya. Korupsi tidak hanya melanggar hukum manusia, tetapi juga merupakan dosa besar. Sistem Khilafah menawarkan solusi menyeluruh untuk memberantas korupsi melalui penerapan syariat Islam secara kaffah yaitu dengan:
- Pemimpin yang Bertakwa dan Zuhud
Dalam Khilafah, pemimpin dipilih berdasarkan ketakwaan dan sifat zuhud. Mereka merasa selalu diawasi oleh Allah ï·». Jabatan dipandang sebagai amanah untuk melayani rakyat, bukan untuk memperkaya diri.
- Penerapan Syariat Islam Secara Total
Hukum syariat diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan dan pengelolaan harta negara. Pejabat yang terbukti bersalah dikenakan hukuman berat yang menimbulkan efek jera, seperti cambuk atau bahkan hukuman mati.
- Pengelolaan Harta Negara dengan Amanah
Harta hasil korupsi dianggap sebagai harta ghulul dan wajib dikembalikan ke negara melalui baitul maal. Rasulullah ï·º bersabda:"Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian gaji untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulul." (HR Abu Dawud dan Al-Hakim)
- Sistem Politik Syar’i
Politik dalam Khilafah berorientasi pada pelayanan rakyat, bukan pada kepentingan elit atau oligarki. Politik transaksional yang melahirkan korupsi sistemik tidak memiliki tempat dalam sistem Islam.
Waktunya Beralih ke Sistem yang Adil
Sistem demokrasi telah terbukti gagal memberantas korupsi. Justru ia melahirkan praktik korupsi yang semakin merajalela. Sudah saatnya Indonesia beralih kepada sistem yang mampu mewujudkan keadilan hakiki, yakni Khilafah. Dengan pemimpin bertakwa, kebijakan yang adil, dan sanksi yang berefek jera, Khilafah menjadi solusi nyata untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya.
0 Komentar