RUMAH LAYAK, IMPIAN YANG TERKOYAK


Oleh: Tety Kurniawati
Penulis Lepas

Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo buka suara soal program penyediaan rumah. Menurut Hashim hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak. Hashim juga menyebut ada sebanyak 27 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni (finance.detik.com, 04-12-2024).


Jauh Impian dari Kenyataan

Pertumbuhan penduduk perkotaan yang meningkat pesat akibat pertumbuhan alami maupun urbanisasi meniscayakan peningkatan kebutuhan hunian. Antrean panjang warga mengekor untuk mendapatkan hunian layak. Sementara di sisi ketersediaan hunian, jumlah rumah terbangun belum bisa memenuhi kebutuhan pertumbuhan itu sendiri. Hal inilah yang disebut backlog perumahan.

Besaran backlog tidak pernah menyusut karena tiap tahun muncul keluarga baru. Jika hunian yang dibutuhkan mensyaratkan rumah layak huni, maka besarannya jauh lebih banyak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui publikasi yang berjudul Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023 mengungkapkan bahwa lebih dari sepertiga penduduk Indonesia, tepatnya 36.85% tinggal di rumah tidak layak huni. Lebih detail, terdapat 32 juta dari total 75 juta rumah tangga di Indonesia hidup dalam kondisi rumah tak layak. Angka yang menunjukkan bahwa problem rumah layak masih menjadi tantangan besar negeri tercinta.

Selain hal tersebut, sulitnya mendapatkan hunian layak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya kenaikan harga rumah yang lebih cepat dari kenaikan penghasilan alias, tak terjangkaunya harga perumahan, alih guna lahan yang menyebabkan kian sempitnya lahan untuk perumahan dan kalaupun ada harganya mahal, pembangunan perumahan yang merambah kawasan pinggiran kota hingga membutuhkan biaya transportasi ekstra guna menjangkau tempat kerja dan fasilitas umum, terbatasnya moda transportasi yang mendukung, dan pengaruh kondisi ekonomi global. Kesemuanya menunjukkan jauhnya impian mendapatkan rumah layak dari kenyataan yang ada.


Problem Sistemik

Memiliki rumah layak masih merupakan impian yang terkoyak dari jutaan keluarga hari ini. Hal ini disebabkan oleh tata kelola perumahan yang diatur berdasarkan sistem kapitalisme, meniscayakan mahalnya harga hunian. Harga perumahan akan terus mengalami peningkatan. Seiring pelaksanaan aktivitas ekonomi yang berorientasi pada besaran keuntungan.

Kapitalisme juga meminimalisir peran negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator semata. Hingga atas nama keuntungan justru memuluskan jalan pihak swasta untuk mengendalikan pembangunan perumahan rakyat. Namun narasi yang digaungkan seolah negara sedang memenuhi hajat rakyat atas rumah layak.

Sekularisme yang menjadi nadi dari sistem kapitalisme. Sukses melahirkan gaya kepemimpinan populis. Wajar jika penguasa yang ada, jauh dari fungsi riayah dan tidak memiliki dimensi ruhiyah. Abai terhadap kebutuhan rakyat dan menutup mata atas penderitaannya.


Islam Menjamin Hunian Layak Masyarakat

Islam memandang bahwa rumah merupakan kebutuhan asasiah disamping sandang, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan yang wajib dijamin oleh negara melalui penerapan sistem politik ekonomi Islam.

Penguasa sebagai representasi negara dalam Islam akan berupaya optimal untuk melayani rakyat. Keberadaannya bertanggungjawab langsung atas terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar berupa papan yang layak bagi rakyat.

Negara tidak diperbolehkan mengalihkan tanggungjawabnya. Baik pada pihak bank-bank, badan usaha maupun pengembang perumahan. Hal ini untuk menjaga kewenangan negara yang terkait dengan fungsinya sebagai pelayan rakyat.

Konsep anggaran berbasis Baitulmal wajib diterapkan oleh negara. Dimana sumber-sumber pemasukan dan pos-pos pengeluarannya berdasarkan syariat Islam. Konsep anggaran inilah yang memudahkan negara menjamin sepenuhnya kebutuhan dasar hunian layak bagi rakyat. Maka, konsep anggaran berbasis kinerja tak diperkenankan apapun alasannya. Haram hukumnya penupukan dana yang dihimpun dari rakyat kemudian didepositokan atau diinvestasikan di pasar modal. Demikian pula terlarang dengan cara utang maupun penarikan pajak yang membebani rakyat.

Demi kemaslahatan kaum muslimin, negara justru didorong untuk memberikan tanah miliknya kepada yang membutuhkan secara cuma-cuma untuk dibangun hunian. Sebaliknya, negara melarang penguasaan tanah oleh korporasi. Sebab menghambat upaya negara menjamin ketersediaan lahan perumahan. Bahkan bagi masyarakat miskin, pemilik rumah tak layak huni. Negara berkewajiban untuk melakukan renovasi segera tanpa melalui persyaratan yang rumit.

Demikianlah mekanisme pemenuhan kebutuhan papan dalam Islam. Aplikasinya mampu menjamin pemenuhan rumah layak bagi masyarakat. Kemaslahatan kaum muslimin terjaga dan kesejahteraan pun mewujud nyata.

Wallahu a'lam bishawwab.

Posting Komentar

0 Komentar