Oleh: Arslan
Jurnalis Lepas
Insiden penembakan oleh Aipda Robik Zainuddin di Semarang baru-baru ini kembali menyorot tajam institusi Polri. Kejadian yang diklaim sebagai pembubaran tawuran antar gengster ini menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, terutama setelah rekaman CCTV dan kesaksian warga menunjukkan narasi yang bertentangan dengan klaim resmi polisi.
Peristiwa ini bermula dari dugaan tawuran yang terjadi di kawasan Jalan Simongan hingga Candi Penataran. Berdasarkan rekaman CCTV Masjid Al-Amin dan video yang beredar, kejar-kejaran motor terjadi di malam itu. Namun, aksi tersebut berujung pada tindakan brutal, di mana Aipda Robik menembakkan senjata api ke arah tiga pengendara motor yang melintas, meski mereka tidak terkait dengan insiden sebelumnya.
Tawuran atau Rekayasa?
Polisi awalnya menyatakan bahwa penembakan dilakukan untuk membubarkan tawuran antar gengster, yakni kelompok Seroja dan Tanggul Pojok. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan ketidaksesuaian. Warga sekitar menyebut tak ada tawuran besar pada malam itu, hanya cekcok kecil yang berlangsung singkat sebelum bubar.
Klaim polisi diperkuat dengan rekaman video dari ponsel kelompok tertentu, tetapi investigasi mandiri menunjukkan lokasi video tak jauh dari pabrik, bukan tempat kejadian sebenarnya. Selain itu, dugaan manipulasi bukti dan tekanan terhadap saksi semakin memperkuat asumsi adanya rekayasa.
Fakta Baru dari Rekaman CCTV
Dua rekaman CCTV yang belum diungkap sebelumnya memperlihatkan kejar-kejaran motor yang diduga melibatkan pelaku dan korban. Namun, setelah pengejaran berakhir, Robik berhenti di depan masjid dan secara tiba-tiba menembakkan senjata ke arah tiga motor yang melintas.
Motor yang nyaris menyerempet Robik ternyata melarikan diri ke gang kecil, sementara motor-motor yang ditembak tidak memiliki keterkaitan dengan insiden awal. Hal ini mematahkan narasi polisi yang menyebut tindakan tegas dilakukan karena perlawanan terhadap petugas.
Korban Diframing sebagai Gengster
Salah satu korban, Gama, disebut sebagai anggota geng beringas. Namun, warga dan teman-temannya membantah keras klaim ini. Gama dikenal sebagai pemuda aktif yang rutin berlatih silat di Kampus Widya Husada. Sayangnya, CCTV kampus menunjukkan bahwa ia tidak pernah sampai ke lokasi latihannya malam itu.
Warga sekitar juga mengungkap bahwa polisi baru melakukan olah TKP setelah sepuluh hari kejadian, itupun oleh Polda Jawa Tengah, bukan Polrestabes Semarang.
Manipulasi Narasi dan Alat Bukti
Dalam konferensi pers, Kapolrestabes Semarang memilih untuk menghentikan tayangan rekaman CCTV sebelum momen krusial terlihat. Hal ini menimbulkan dugaan adanya upaya menutup-nutupi fakta. Selain itu, narasi tentang "tembakan peringatan" juga diragukan. Warga di lokasi bersaksi hanya ada tiga kali tembakan yang terdengar, dan semuanya diarahkan langsung ke korban.
Keadilan yang Dipertaruhkan
Kasus ini bukan sekadar insiden penembakan brutal oleh aparat, tetapi juga mencerminkan bagaimana kebenaran bisa direkayasa. Manipulasi bukti, framing korban, dan narasi yang berubah-ubah menjadi tantangan besar dalam mengungkap fakta.
Insiden ini kembali menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas di tubuh Polri. Publik kini menanti keadilan bagi para korban dan sanksi yang tegas terhadap pelaku.
0 Komentar