Oleh: Diaz
Jurnalis Lepas
Masyarakat adat Dayak Pitap yang tinggal di kawasan Bentang Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian lingkungan dan tanah leluhur mereka. Tersebar di lima desa Kambiain, Langkap, Mayanau, Dayak Pitap, dan Ajung mereka mendiami lahan ulayat seluas 22.806 hektar. Komunitas ini, yang terdiri dari sekitar 1.670 jiwa, telah lama mempertahankan kearifan lokal mereka dalam harmoni dengan alam.
Sejak akhir 1990-an, perjuangan Dayak Pitap melawan ekspansi industri ekstraktif, seperti tambang batu bara, emas, dan bijih besi, serta perkebunan sawit, menjadi sorotan. Meskipun berbagai ancaman datang, mulai dari pembabatan hutan hingga perizinan tambang, mereka terus berdiri teguh mempertahankan wilayah adatnya.
Ancaman Ekspansi dan Perlawanan Dayak Pitap
Upaya mempertahankan wilayah adat Dayak Pitap bermula sejak tahun 1998-1999, ketika izin perkebunan sawit pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah untuk PT Melindu Jaya. Penolakan mereka membuahkan hasil, hingga kini, tidak ada pohon sawit yang ditanam di wilayah tersebut. Ancaman serupa muncul pada 2001, saat izin tambang bijih besi diberikan kepada PT Sribumi. Namun, masyarakat adat berhasil menggagalkan operasi tambang tersebut melalui aksi protes dan advokasi.
Meski begitu, ancaman belum berakhir. Pada 2022, izin operasi tambang batu bara kembali terbit di area yang berdekatan dengan wilayah adat Dayak Pitap. Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa perusahaan ini memiliki konsesi seluas 1.358 hektar di Desa Nungka Juuh dan Desa Auh, yang berbatasan langsung dengan tanah ulayat Dayak Pitap. Hal ini memicu kekhawatiran baru bagi masyarakat adat, mengingat dampak ekologis yang mungkin terjadi, seperti erosi, banjir, dan rusaknya sumber air.
Hutan Sebagai Sumber Kehidupan dan Budaya
Bagi masyarakat adat Dayak Pitap, hutan bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga simbol spiritual dan sumber kehidupan. Mereka menjaga hutan dengan konsep "zona keramat," area konservasi alami yang melindungi hulu sungai dan habitat keanekaragaman hayati. Tradisi berladang yang berkelanjutan menjadi contoh nyata bagaimana mereka menjaga keseimbangan ekosistem.
Melalui pola pertanian gilir balik, lahan dibiarkan pulih secara alami sebelum digunakan kembali. Hasil panen dari ladang, seperti padi dan buah-buahan, tidak hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menjadi stok untuk menghadapi bencana atau krisis seperti pandemi.
Komitmen Generasi Muda Dayak Pitap
Perjuangan Dayak Pitap tidak hanya dilakukan oleh generasi tua. Generasi muda, seperti Eka, seorang guru honorer di SMP Negeri 2 Awaywan, juga aktif berkontribusi. Eka menyelesaikan pendidikan tingginya di Bali dan kini kembali ke komunitasnya untuk mendidik anak-anak Dayak Pitap agar memiliki wawasan luas dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Eka menekankan pentingnya pendidikan dalam melestarikan nilai-nilai budaya dan menjaga kelangsungan hidup masyarakat adat. Ia berharap, melalui pendidikan, generasi muda Dayak Pitap dapat terus melestarikan tanah leluhur sekaligus meraih kehidupan yang lebih baik.
Harapan untuk Masa Depan
Masyarakat adat Dayak Pitap berharap pemerintah memberikan perlindungan lebih terhadap wilayah adat mereka. Mereka menuntut agar hak-hak masyarakat adat diakui, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Bagi mereka, menjaga hutan sama artinya dengan menjaga kehidupan generasi mendatang.
Pesan mereka tegas: "Jika tanah leluhur kami terancam, kami akan melawan hingga titik darah penghabisan. Tanah ini bukan hanya milik kami, tetapi juga untuk masa depan anak-cucu kami."
Perjuangan masyarakat adat Dayak Pitap adalah cermin semangat perlawanan terhadap eksploitasi, demi memastikan keberlanjutan kehidupan di Bentang Pegunungan Meratus.
0 Komentar