Oleh: Arslan
Penulis Lepas
Setiap akhir tahun, umat Muslim dihadapkan pada dua perayaan besar yang bukan berasal dari tradisi Islam: Natal dan Tahun Baru. Ironisnya, tidak sedikit Muslim yang ikut merayakan kedua hari tersebut. Instansi pemerintah, swasta, bahkan tokoh masyarakat dan pejabat Muslim kerap terlibat dalam perayaan ini dengan alasan menjaga kerukunan umat beragama.
Tekanan pada Karyawan Muslim
Yang lebih memprihatinkan, sejumlah karyawan Muslim sering kali dikondisikan, bahkan diwajibkan, untuk ikut merayakan Natal dan Tahun Baru. Mereka diminta mengenakan atribut Natal atau menghadiri acara perayaan. Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 1981 telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan haram bagi Muslim untuk merayakan Natal bersama. Fatwa ini juga menghimbau agar pengusaha non-Muslim tidak memaksa karyawan Muslim terlibat dalam tradisi Natal.
Salah Kaprah Toleransi
Sebagian Muslim berdalih bahwa mengucapkan "Selamat Natal" atau ikut merayakannya merupakan bentuk toleransi. Mereka mengutip ayat Al-Qur’an, seperti:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama...” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8).
Namun, konteks ayat ini berkaitan dengan muamalah, bukan mencampurkan akidah dan ibadah. Berbuat baik kepada non-Muslim memang dianjurkan, tetapi tidak dalam hal yang bertentangan dengan akidah Islam.
Mengapa Natal Bertentangan dengan Akidah Islam?
Perayaan Natal adalah ibadah umat Nasrani untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus, yang mereka anggap sebagai Tuhan. Dalam akidah Islam, hal ini bertentangan dengan keyakinan bahwa Allah itu Esa, tidak beranak, dan tidak diperanakkan. Allah ﷻ berfirman:
لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْـًٔا اِدًّا ۙ تَكَادُ السَّمٰوٰتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْاَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا
“Sungguh kalian telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu).” (QS. Maryam [19]: 89-92).
Ucapan "Selamat Natal" berarti mengakui keyakinan mereka, sesuatu yang dilarang dalam Islam. Nabi ﷺ juga memperingatkan:
إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang Allah ridhai, yang tidak begitu dia pedulikan. Namun, dengan ucapan itu Allah mengangkat dirinya beberapa derajat. Sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang Allah murkai, yang tidak begitu dia pedulikan. Namun, dengan ucapan itu Allah melemparkan dirinya ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tahun Baru: Tradisi yang Sarat Maksiat
Perayaan Tahun Baru bermula dari tradisi penyembahan dewa-dewa bangsa Romawi. Hari ini, perayaan tersebut diwarnai hura-hura, campur baur pria-wanita, hingga perbuatan maksiat seperti konsumsi minuman keras dan perzinaan. Rasulullah ﷺ telah melarang umat Islam menyerupai tradisi kaum kafir:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad).
Bahaya Pluralisme
Perayaan Natal dan Tahun Baru sering dijadikan ajang kampanye pluralisme, yang mengajarkan bahwa semua agama sama benarnya. Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam. Allah berfirman:
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ
“Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran [3]: 19).
Pluralisme mencampuradukkan haq dan batil, mengaburkan keyakinan umat Muslim, dan melemahkan akidah mereka.
Islam dan Toleransi yang Benar
Islam telah mengajarkan hubungan antarumat beragama yang mulia. Non-Muslim tidak boleh dipaksa memeluk Islam, dan setiap Muslim wajib menghormati jiwa, harta, serta kehormatan siapa pun tanpa memandang agama. Namun, dalam perkara akidah dan ibadah, seorang Muslim harus tegas berpegang pada keyakinannya. Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85).
Sayidina Umar bin Khaththab ra. juga memperingatkan:
إِجْتَنِبُوْا اَعْدَاءَ اللهِ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى يَوْمَ جَمْعِهِمْ فِي عِيْدِهِمْ، فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ فأَخْشَى أَنْ يُصِيْبَكُمْ
“Jauhilah musuh-musuh Allah saat mereka merayakan hari raya mereka. Sungguh saat itu murka Allah turun kepada mereka, dan aku khawatir hal itu juga akan menimpa kalian.” (HR. Al-Baihaqi).
Kesimpulan
Merayakan Natal dan Tahun Baru bukan hanya bertentangan dengan akidah Islam, tetapi juga berisiko merusak keimanan umat. Muslim harus tegas menolak segala bentuk perayaan yang tidak sesuai dengan syariat, sembari tetap menjaga hubungan baik dengan non-Muslim dalam koridor yang diajarkan Islam. Toleransi sejati adalah hidup berdampingan tanpa mencampuradukkan keyakinan.
0 Komentar