Oleh: Vivi Nurwida
Penulis Lepas
Penolakan kenaikan PPN menjadi 12% oleh berbagai kalangan, termasuk mahasiswa memang patut diapresiasi. Mereka adalah kaum intelektual yang semestinya membela rakyat dengan ilmu dan segala potensi yang dimiliki.
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga atau BEM Unair menolak wacana kenaikan Pajak Pertambahan Negara yang semula 11% menjadi 12%. Penolakan tersebut dilakukan oleh BEM Unair setelah melakukan kajian komprehensif dan mendalam mengenai dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat (beritajatim.com, 21-12-2024).
Menurut Aulia Thaariq Akbar selaku Presiden BEM Unair, kenaikan PPN menjadi 12%, dirumuskan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif. Terlebih, sejauh ini masyarakat belum berada dalam kondisi ekonomi yang baik, bahkan banyak masyarakat yang akhirnya turun kelas dari semula kelas menengah menjadi kelas bawah.
Tidak hanya itu, masih menurut Aulia, penyampaian pemerintah dalam mensosialisasikan kenaikan PPN 12% cenderung penuh kebohongan, sebab pada awalnya pemerintah menyampaikan bahwa kenaikan PPN hanya berdampak pada barang mewah saja. Namun ternyata setelah keluar daftar resmi barang yang terkena dampak kenaikan PPN, kebutuhan pokok juga termasuk yang terdampak.
Harus Dibarengi Kesadaran Politik Islam
Kepedulian mahasiswa terhadap kebijakan yang menyengsarakan rakyat memang sudah semestinya ada, sebab merekalah salah satu kekuatan umat dalam mewujudkan perubahan.
Penolakan mahasiswa atas kebijakan yang semakin menyengsarakan rakyat ini harus dibangun dengan kesadaran yang sahih atas kerusakan sistem kapitalisme hari ini.
Namun, karena tidak dibangun atas pemahaman politik yang sahih, penolakan yang dilontarkan hanya sekedar penolakan atau euforia semata.
Padahal, ketika mahasiswa melakukan penolakan atas kesadaran politik yang sahih, mereka akan paham, akar persoalan kebijakan yang menyengsarakan umat adalah sistem Kapitalisme yang ditetapkan hari ini. Semestinya, penolakan yang dilakukan bukan hanya terkait pungutan pajak, lebih dari itu sistem kehidupan kapitalisme yang menjadi asas lahirnya kebijakan pajak juga harus ditolak.
Dalam sistem kapitalisme, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah sebuah keniscayaan. Pajak dalam sistem ini dijadikan sebagai sumber pendapatan dan pembangunan negara. Karenanya, tak heran jika pajak diterapkan kepada siapa saja karena dianggap sebagai kewajiban rakyat yang mesti ditunaikan, secara kontinu.
Negara dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, akibatnya kebijakannya selalu berpihak kepada para pemilik modal dan abai kepada rakyat. Pengusaha besar mendapatkan kebijakan ampunan pajak, sementara rakyat dan pengusaha kecil dibebani berbagai pajak yang mencekik yang makin memberatkan hidup rakyat.
Umat memang sengaja digiring bahwa tidak ada solusi lain yang sahih terkait bagaimana bisa menyejahterakan rakyat. Maka dari itu, mahasiswa sebagai kaum intelektual juga sebagai pemuda sang agen perubahan mesti disadarkan dengan pendidikan politik yang sahih. Bahwa, politik bukan hanya sekedar memilih pemimpin dalam pemilihan umum, lebih dari itu politik adalah mengurus urusan umat. Pengurusan dalam Islam sangat berbanding terbalik dengan pengurusan dalam sistem Kapitalisme. Islam akan menyejahterakan rakyat dengan mekanisme yang diatur oleh syarak.
Kontribusi Pemuda untuk Kejayaan Islam
Sejarah telah mencatat tinta emas kegemilangan ketika Islam ditetapkan dalam seluruh aspek kehidupan, pemuda bisa memaksimalkan potensinya sebagai agen perubahan.
Para pemuda banyak mewarnai perjuangan Islam. Bahkan, di masa awal dakwah Rasulullah banyak diisi oleh para pemuda yang mengerahkan segenap potensinya untuk dakwah Islam. Hal ini terus berlanjut hingga generasi pada masa kejayaan Islam. Di antara pemuda itu adalah: Arqam bin Abi al-Arqam (12 tahun), Saad bin Abi Waqash (17 tahun), Abdullah bin Mas'ud (14 tahun), Ja'far bin Abi Thalib (18 tahun) dan masih banyak lagi pemuda yang menjadi generasi awal pemeluk Islam, yang kontribusinya untuk dakwah Islam tidak main-main.
Selain itu ada pula Muhammad Al Fatih (21 tahun) yang berhasil menaklukan Konstantinopel, Muhammad al-Qasim (17 tahun) berhasil menaklukan India dan pemuda hebat lainnya di masa kejayaan Islam. Semua ini terjadi karena mereka dibekali dengan pendidikan Islam yang mumpuni, yang berbasis akidah Islam.
Sudah semestinya kita mencampakkan sistem sekuler kapitalisme yang telah membajak potensi generasi muslim hari ini. Sudah semestinya generasi muda bergabung dengan partai politik Islam ideologis agar mendapatkan bekal pendidikan politik Islam, yang mengantarkan pada perubahan hakiki, yakni penerapan Islam secara kaffah yang akan membawa kebaikan, kesejahteraan, keadilan dan keberkahan bagi seluruh umat.
Wallahu a'lam bisshowab
0 Komentar