Oleh: Alex Syahrudin
Penulis Lepas
Penetapan proyek PIK-2 sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) telah memicu kritik tajam dari masyarakat. Status PSN yang disematkan pada proyek ini diduga bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi sebagai kompensasi atas keterlibatan Agung Sedayu Group dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Sugiyanto Kusuma alias Aguan, bos Agung Sedayu Group, mengakui "babak belur" dalam proyek IKN demi menjaga muka Presiden Joko Widodo. Pernyataan ini justru memperkuat dugaan bahwa status PSN untuk PIK-2 adalah bagian dari imbalan politik dan ekonomi yang merugikan rakyat.
Status PSN: Hadiah atau Manipulasi?
Klaim Aguan bahwa status PSN bukanlah kompensasi atas keterlibatannya di IKN patut dipertanyakan. Meskipun PIK-2 dibangun sejak 2012, status PSN baru disahkan pada Maret 2024, setelah keterlibatan Aguan di IKN. Terdapat beberapa keuntungan besar yang diterima PIK-2 sebagai PSN, di antaranya:
- Jaminan Pemerintah: Berdasarkan Pasal 18 Ayat 5 PP No. 42 Tahun 2021, PSN memperoleh jaminan pemerintah, termasuk dalam risiko teknis dan finansial.
- Kemudahan Pembiayaan: Dana pembangunan dapat berasal dari skema kerja sama pemerintah-badan usaha, dengan jaminan penuh dari pemerintah.
- Kemudahan Perizinan: Proyek PSN difasilitasi untuk menyelesaikan permasalahan izin dan pengadaan lahan.
- Penyelesaian Masalah Hukum: Pasal 46 Ayat 1 PP No. 42 Tahun 2021 memberikan prioritas administrasi untuk menyelesaikan pengaduan terkait PSN.
Namun, dalam kasus PIK-2, keuntungan ini diduga dimanfaatkan secara manipulatif untuk memperluas wilayah proyek di luar area yang sah sebagai PSN, yakni hanya 1.755 hektare di Kecamatan Kosambi. Wilayah pembebasan lahan di 10 kecamatan lainnya di Kabupaten Tangerang dan Serang tetap dimasukkan dalam lingkup PSN tanpa dasar hukum yang jelas.
Korporasi Rakus dan Derita Rakyat
Tindakan Agung Sedayu Group tidak hanya melibatkan manipulasi status PSN tetapi juga menyebabkan penderitaan rakyat. Tanah warga dipaksa dilepas dengan harga murah, bahkan sering kali tanpa pembayaran terlebih dahulu. Beberapa lahan langsung ditimbun meski proses pembayaran belum selesai, mencerminkan arogansi korporasi yang didukung oleh kemudahan regulasi PSN.
Kritik utama terhadap proyek ini adalah bagaimana pemerintah tampak lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan rakyat kecil. Status PSN menjadi alat bagi oligarki untuk merampas hak rakyat demi keuntungan segelintir pihak.
Pengawalan TNI-Polri untuk Aguan: Bukti Negara Lemah?
Kontroversi semakin memuncak ketika laporan Tempo mengungkap bahwa Aguan mendapat fasilitas negara, termasuk pengawalan mobil polisi dan penggunaan mobil berpelat nomor Markas Besar TNI. Fakta ini memunculkan pertanyaan besar:
- Atas dasar apa Aguan mendapat pengawalan khusus dari Polri dan kendaraan TNI?
- Apakah ada alokasi APBN, yang berasal dari pajak rakyat, untuk fasilitas tersebut?
- Apakah ini menunjukkan subordinasi institusi negara kepada kepentingan swasta?
Tanpa klarifikasi resmi, tindakan ini menampar wibawa institusi negara. TNI dan Polri, yang seharusnya netral, justru memberikan kesan tunduk pada oligarki. Hal ini dapat memperkuat persepsi adanya "negara dalam negara" di mana korporasi seperti Agung Sedayu Group memiliki otoritas melebihi negara.
TNI-Polri Harus Menjaga Jarak
Sikap TNI dan Polri yang terkesan berpihak pada Aguan harus dihentikan. Sebagai alat negara, mereka wajib menjaga netralitas dan berpihak pada rakyat, bukan korporasi. Tanpa langkah tegas, citra institusi negara akan semakin tergerus, dan wibawa negara tergadai di tangan oligarki.
Kesimpulan: Negara dalam Bayang-Bayang Oligarki
Proyek PIK-2 mencerminkan masalah sistemik di Indonesia, di mana kebijakan pemerintah lebih sering melayani kepentingan oligarki dibandingkan rakyat. Status PSN yang diberikan kepada PIK-2 dan fasilitas negara yang dinikmati oleh Aguan adalah bukti nyata lemahnya independensi negara di bawah tekanan korporasi. Reformasi mendalam diperlukan untuk mengembalikan kedaulatan negara ke tangan rakyat, bukan oligarki.
0 Komentar