Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas
Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) merujuk pada golongan kaum Muslimin yang mengikuti As-Sunnah Rasulullah ﷺ dan bersatu di atas kebenaran. Menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aql dalam Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, istilah "wal jamaah" mengacu pada kaum Muslimin yang bersatu di bawah kepemimpinan seorang khalifah dalam sebuah negara Islam. Hal serupa ditegaskan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitab Al-Ghaniyah, bahwa "wal jamaah" adalah kesepakatan para sahabat atas keabsahan Khilafah Khulafa’ Rasyidin.
Pemahaman ini menunjukkan bahwa ajaran Khilafah sangat melekat dengan prinsip Aswaja. Jamaah dalam konteks ini bukan sekadar persatuan spiritual, tetapi persatuan di bawah satu kepemimpinan politik yang menerapkan syariah Islam.
Khilafah sebagai Kewajiban dalam Ajaran Aswaja
Kitab-kitab klasik Aswaja secara konsisten menegaskan kewajiban mengangkat seorang khalifah. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam Al-Fiqhul Akbar menyebutkan pentingnya mendirikan Imamah (Khilafah). Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam Al-Farqu Baina Al-Firaq menegaskan bahwa Imamah adalah fardhu atas umat Islam. Bahkan, ulama seperti Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menyatakan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) atas kewajiban tersebut.
Kitab-kitab tafsir seperti karya Imam Al-Qurthubi dan Imam Mawardi juga mendukung pandangan ini. Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya Khilafah kecuali dari segelintir pihak yang menyimpang. Pandangan ini menjadikan Khilafah sebagai bagian yang integral dari ajaran Aswaja, khususnya dalam bernegara dan bermasyarakat.
Demokrasi Bukan Bagian dari Aswaja
Berbeda dengan Khilafah, sistem demokrasi sama sekali bukan bagian dari ajaran Aswaja. Demokrasi adalah konsep yang lahir dari peradaban Barat yang sekular, yang menyerahkan hak penetapan hukum kepada manusia, bukan kepada Allah. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufrin menyebutkan bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang haram diterapkan umat Islam. Hal serupa disampaikan oleh Syaikh Ali Belhaj, yang menegaskan bahwa demokrasi merupakan bentuk tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir).
Lebih lanjut, sistem republik yang merupakan turunan dari demokrasi juga bukan bagian dari ajaran Islam. Republik lahir dari penjajahan Barat yang meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 dan menggantinya dengan sistem sekular yang bertentangan dengan prinsip Aswaja.
Khilafah sebagai Metode Penerapan Syariah
Khilafah bukan sekadar tujuan, melainkan metode (thariqah) untuk menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk umat Islam di dunia guna menegakkan hukum syariah dan menyebarkan dakwah Islam. Institusi Khilafah berfungsi sebagai pelaksana syariah dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial.
Dengan Khilafah, syariah Islam dapat diterapkan secara sempurna, menyelesaikan masalah publik, dan menjaga persatuan umat. Sebaliknya, demokrasi justru menciptakan perpecahan dan menghambat penerapan syariah.
Kesimpulan
Khilafah adalah ajaran murni Aswaja yang tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip dasar Islam. Mengingkari Khilafah sama saja dengan memalsukan ajaran Aswaja itu sendiri. Oleh karena itu, umat Islam, khususnya pengikut Aswaja, harus kembali kepada ajaran Khilafah sebagai bentuk ketaatan kepada syariah dan Rasulullah ﷺ. Sistem Khilafah bukan hanya kebutuhan, tetapi juga kewajiban syar’i yang harus diwujudkan untuk menyatukan umat dan menegakkan syariah secara kaffah.
0 Komentar