Oleh: Alex Syahrudin
Jurnalis Lepas
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk potensi energi terbarukan. Dalam pidato pelantikannya, Presiden Republik Indonesia ke-8, Prabowo Subianto, menegaskan komitmennya untuk mencapai swasembada energi. Dengan memanfaatkan kekayaan alam seperti tanaman penghasil bioenergi, batu bara, energi air, dan geothermal (panas bumi), pemerintah bertekad mengurangi ketergantungan pada energi impor.
Namun, di balik optimisme itu, proyek eksplorasi panas bumi di kawasan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, menuai kontroversi. Proyek yang diklaim sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) ini telah mengundang kekhawatiran masyarakat lokal, khususnya petani yang menggantungkan hidup pada kesuburan tanah dan kelestarian alam.
Geothermal: Potensi dan Risiko
Geothermal merupakan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan jika dikelola dengan baik. Proyek ini dijalankan oleh PT Dayamas Geopatara Pangrangu (DMGP), pemenang lelang eksplorasi di wilayah tersebut sejak April 2022. Namun, keberadaan proyek ini di Gunung Gede Pangrango, kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati, telah memicu protes.
Warga menyebut dampak negatif eksplorasi panas bumi yang pernah terjadi di Dieng, Jawa Tengah, sebagai salah satu alasan penolakan. Kebocoran gas beracun hidrogen sulfida (H₂S) di Dieng mengakibatkan satu pekerja meninggal dunia dan delapan lainnya dirawat akibat keracunan. Masyarakat Gunung Gede khawatir kejadian serupa akan menimpa mereka.
“Gunung ini menjadi tempat leluhur kami. Kalau dihancurkan, bagaimana masa depan anak cucu kami?” keluh seorang warga.
Petani sebagai Garda Depan Penolakan
Mayoritas warga Gunung Gede Pangrango adalah petani yang mengandalkan kesuburan tanah dan ketersediaan air untuk bertahan hidup. Mereka khawatir proyek geothermal akan merusak sumber air dan tanah mereka.
“Pertanian kami bergantung pada alam. Kalau alamnya dirusak, otomatis pekerjaan kami juga rusak,” ujar seorang petani.
Selain itu, masyarakat juga mengkritik minimnya transparansi dalam sosialisasi proyek. Warga merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, meskipun mereka adalah pihak yang paling terdampak.
Dampak Lingkungan dan Kehidupan Satwa
Gunung Gede Pangrango adalah habitat berbagai satwa langka seperti Elang Jawa, Lutung, Macan Kumbang, dan lainnya. Eksplorasi geothermal berpotensi mengganggu ekosistem yang telah lama terjaga. Warga lokal menyebut klaim pemerintah bahwa satwa-satwa tersebut sudah punah sebagai “hoax” yang tidak berdasar.
“Kami melihat sendiri satwa-satwa ini masih ada. Jangan sampai proyek ini menghancurkan semuanya,” tegas salah seorang warga.
Pasal 28H UUD 1945: Hak atas Lingkungan Sehat
Penolakan warga berakar pada hak konstitusional untuk hidup di lingkungan yang sehat, sebagaimana diamanatkan Pasal 28H UUD 1945. Mereka menyerukan kepada pemerintah untuk memprioritaskan kesejahteraan masyarakat lokal daripada mengejar proyek energi yang berpotensi merugikan rakyat.
Menyuarakan Harapan Rakyat
Dalam deklarasi penolakan, warga menuntut penghentian proyek geothermal di Gunung Gede Pangrango. Mereka juga menyerukan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan sektor pertanian, yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupan mereka.
“Jangan rampas tanah rakyat. Jangan berikan hak kepada pihak lain tanpa persetujuan rakyat,” tegas salah satu perwakilan warga.
Kesimpulan
Proyek geothermal di Gunung Gede Pangrango seharusnya menjadi peluang untuk memanfaatkan energi terbarukan. Namun, jika tidak dikelola dengan bijak dan tanpa melibatkan masyarakat, proyek ini justru menjadi ancaman bagi lingkungan, kesejahteraan, dan kehidupan sosial warga setempat. Pemerintah diharapkan mendengar aspirasi rakyat dan mencari solusi yang adil serta berkelanjutan.
Indonesia membutuhkan energi, tetapi tidak dengan mengorbankan tanah air dan kehidupan rakyatnya.
0 Komentar