Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas
Sejak 1 November 2024, sejumlah badan usaha penyedia Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia, seperti PT Pertamina (Persero), Shell Indonesia, BP-AKR, hingga PT Vivo Energy Indonesia, serentak menaikkan harga produk BBM non-subsidi. Kenaikan harga ini dikhawatirkan akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama melalui dampaknya pada harga-harga kebutuhan pokok. Distribusi barang, yang sangat tergantung pada penggunaan BBM, tentu akan merasakan dampaknya, dan biaya produksi pun otomatis ikut naik. Hal ini berpotensi menekan konsumen dengan harga yang semakin tinggi, sementara pendapatan masyarakat cenderung stagnan atau bahkan menurun akibat kondisi ekonomi yang sulit.
Meningkatnya beban ekonomi masyarakat berbanding terbalik dengan kebijakan pemerintah yang memperpanjang tax holiday bagi para pengusaha besar dan investor. Para pengusaha mendapat kemudahan pajak sementara masyarakat harus membayar pajak setiap hari melalui berbagai bentuk pungutan, yang sering disebut sebagai Tax Every Day. Fenomena ini menggambarkan jurang kebijakan fiskal yang mencolok antara kapitalis dan rakyat.
Kapitalisme dan Kebijakan Negara
Dalam sistem kapitalisme, negara kerap berperan sebagai fasilitator bagi kepentingan para pemilik modal besar. Dalam konteks ini, kebijakan harga BBM yang naik serentak bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan fiskal negara, namun dapat dilihat sebagai cara untuk menguntungkan para pemain besar di sektor BBM, termasuk perusahaan asing. Ketika harga di SPBU Pertamina sudah tak jauh berbeda dengan harga di SPBU asing, masyarakat otomatis akan lebih leluasa berpindah ke penyedia lain, dan akhirnya pemain asing pun diuntungkan.
Di sisi lain, pemerintah juga memberikan tax holiday untuk menarik investasi dan meringankan beban produksi perusahaan kapitalis. Pajak yang seharusnya dibayarkan oleh para pemodal besar, kini seolah-olah diabaikan untuk mendorong aktivitas bisnis mereka tanpa terganggu pajak.
Kebijakan Pajak dan Peningkatan Utang Negara
Selain kenaikan harga BBM, pemerintah juga berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kenaikan ini berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang tingkat ekonomi, yang pada akhirnya justru akan memperberat beban ekonomi bagi masyarakat kelas menengah dan bawah. Bagi masyarakat kecil, kenaikan PPN ini berdampak langsung pada kebutuhan sehari-hari yang harus mereka penuhi.
Sebagai tambahan, pemerintah juga diramalkan akan meningkatkan jumlah utang luar negeri untuk menutup defisit APBN. Ketergantungan pada utang asing tentu akan mengikat kebijakan ekonomi negara agar selalu pro-asing dan pro-kapitalis. Akibatnya, subsidi yang sebelumnya meringankan beban masyarakat cenderung dipangkas demi menyeimbangkan anggaran, dan pada akhirnya masyarakat yang menanggung beban berat.
Masa Depan dan Pilihan Umat
Dengan adanya rangkaian kebijakan ekonomi ini, semakin tampaklah wajah sistem ekonomi kapitalisme yang saat ini dijalankan di Indonesia. Dalam kapitalisme, rakyat kecil sering kali menjadi korban dari kebijakan yang berpihak pada pemilik modal besar. Tantangan besar bagi masyarakat adalah bagaimana agar sistem ekonomi yang diterapkan dapat benar-benar memihak kepentingan rakyat, bukan hanya untuk para pemodal besar.
Pada akhirnya, situasi ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia. Bangkit dan melawan sistem kapitalisme sekuler ini membutuhkan tekad dan strategi bersama untuk menuju sistem ekonomi yang adil, pro-rakyat, dan berkelanjutan. Itulah sistem Islam yang seharusnya kaum muslimin dan masyarakat Indonesia pada umumnya perjuangkan sebagai solusi tuntas segala permasalahan yang saat ini mendera umat, bukan sistem yang lain.
0 Komentar