Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas
Setelah mengalami era kejayaan startup dengan pertumbuhan dan pendanaan besar, kini muncul fenomena baru dalam dunia bisnis: “anti-startup.” Istilah ini mewakili jenis usaha yang beroperasi dengan pendekatan yang berbeda dari startup tradisional. Anti-startup fokus pada profitabilitas, pertumbuhan organik, dan kestabilan finansial. Alih-alih mengedepankan ekspansi dan bakar uang demi meraih valuasi tinggi, mereka menjaga hubungan kuat dengan pelanggan dan fokus pada keberlanjutan. Kini, para investor mulai melirik perusahaan-perusahaan ini sebagai alternatif yang lebih stabil di tengah gejolak ekonomi global.
Transformasi Ekosistem Bisnis: Dari Euforia Startup ke Pendekatan yang Lebih Stabil
Pada dekade sebelumnya, dunia bisnis digemparkan dengan kemunculan startup yang mengusung inovasi disruptif dan mengandalkan pendanaan besar. Banyak pengusaha muda yang terinspirasi oleh kisah sukses Silicon Valley dan didukung oleh akselerator seperti Y Combinator, yang melahirkan perusahaan besar seperti Airbnb dan Dropbox. Di Indonesia sendiri, ekosistem startup berkembang pesat dengan dukungan pemerintah yang mentargetkan lahirnya 1000 startup dalam lima tahun sejak 2015. Pemerintah pun meluncurkan insentif pajak dan program pendukung lainnya yang mendorong perkembangan startup dalam ekonomi digital.
Namun, di balik laju pertumbuhan pesat ini terdapat risiko besar. Startup sering kali menggelontorkan dana besar untuk kampanye pemasaran agresif atau strategi “bakar uang” demi menarik lebih banyak pengguna. Strategi ini efektif dalam jangka pendek untuk meningkatkan jumlah pengguna, tetapi sering kali menyebabkan arus kas negatif jika tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai. Contoh nyata adalah WeWork, yang sempat bernilai 47 miliar USD sebelum valuasinya turun drastis akibat model bisnis yang tidak stabil.
Kemunculan Fenomena “Zombie Startup” dan Tumbuhnya Anti-Startup
Di tengah euforia pertumbuhan eksponensial, muncul juga fenomena “zombie startup” — perusahaan yang bertahan hidup hanya dengan suntikan dana investor meskipun model bisnisnya tidak jelas atau tidak berkelanjutan. Pandemi COVID-19 semakin memperparah situasi, memaksa banyak startup untuk mengurangi karyawan dan efisiensi besar-besaran.
Sementara itu, beberapa bisnis yang fokus pada profitabilitas dan stabilitas mulai menunjukkan keunggulannya. Bisnis-bisnis ini menjalankan operasionalnya tanpa sokongan dana besar dari investor. Mereka tetap fokus pada pertumbuhan organik, menjaga stabilitas arus kas, dan meningkatkan kualitas layanan bagi pelanggan. Inilah yang kemudian disebut dengan “anti-startup.” Keberhasilan mereka di tengah ketidakpastian ekonomi menginspirasi banyak pengusaha dan menarik minat investor yang mulai mempertimbangkan profitabilitas sebagai kriteria utama.
Startup Versus Anti-Startup: Apa yang Membuat Pendekatan Anti-Startup Lebih Stabil?
Secara umum, ada dua pendekatan dalam mengelola startup: pendekatan venture capitalist yang fokus pada pertumbuhan cepat dan valuasi tinggi, serta pendekatan pengusaha yang menitikberatkan pada profitabilitas dan keberlanjutan jangka panjang. Venture capitalist menginginkan hasil cepat untuk meraih keuntungan besar dari kenaikan valuasi. Sebaliknya, pendekatan anti-startup yang dilakukan oleh pengusaha lebih hati-hati dan fokus pada menciptakan nilai bagi pelanggan.
Dalam model venture capitalist, sering kali fase produk-market fit (kecocokan produk dengan pasar) terabaikan demi mengejar pertumbuhan pengguna. Akibatnya, banyak startup yang kehilangan daya saing karena pendapatan tidak mampu menutupi pengeluaran besar, sehingga mengakibatkan pendanaan dari investor terhenti dan perusahaan gulung tikar. Sebaliknya, pendekatan anti-startup memungkinkan pengusaha untuk bertumbuh secara organik tanpa tekanan dari investor, yang pada akhirnya membuat perusahaan lebih stabil.
Tren di Indonesia: Keberhasilan Model Anti-Startup dalam Meraih Keberlanjutan
Di Indonesia, beberapa perusahaan berhasil tumbuh dengan menerapkan prinsip anti-startup. Misalnya, eFishery yang fokus pada pemberdayaan petani aquakultur dan Binar Academy yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia. Mereka tidak mengandalkan strategi bakar uang, melainkan menjaga efisiensi sumber daya dan fokus pada kualitas layanan.
Menurut laporan ekonomi dari Google, Bain & Company, dan Temasek, jumlah pendanaan untuk startup di Asia Tenggara menurun tajam sejak 2021. Investor kini lebih selektif, hanya tertarik pada startup yang sudah menunjukkan profitabilitas atau memiliki potensi pasar yang besar. Sebaliknya, perusahaan kecil yang menjaga kestabilan finansial mulai mendapatkan perhatian lebih besar karena dianggap lebih tahan terhadap berbagai tantangan ekonomi.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Pendekatan Anti-Startup?
Fenomena anti-startup mengajarkan kita bahwa pertumbuhan yang berfokus pada kestabilan keuangan dan penciptaan nilai bagi pelanggan mampu membangun fondasi bisnis yang lebih kuat. Perusahaan yang berorientasi pada profitabilitas dapat menghadapi guncangan ekonomi dengan lebih baik dan memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan dinamika pasar.
Tren ini menjadi pengingat bahwa mendapatkan pendanaan besar dari investor bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai kesuksesan. Ada banyak cara untuk membangun bisnis yang berkelanjutan, termasuk dengan pendekatan yang lebih berhati-hati, efisien, dan fokus pada pelanggan.
Kesimpulan: Anti-Startup Sebagai Alternatif Strategi Bisnis Masa Depan
Anti-startup bukan sekadar tren, melainkan representasi dari pendekatan bisnis yang stabil, berfokus pada efisiensi, profitabilitas, dan penciptaan nilai bagi pelanggan. Membangun usaha dengan prinsip ini terbukti mampu menghasilkan keberlanjutan dalam jangka panjang. Bagi para pengusaha, anti-startup menawarkan sebuah jalur yang memungkinkan untuk bertumbuh dengan ritme sendiri, tanpa tergesa-gesa mengejar angka-angka pertumbuhan eksponensial. Dengan demikian, model anti-startup semakin relevan sebagai pilihan alternatif untuk meraih keberhasilan di dunia bisnis yang terus berubah.
0 Komentar