Oleh: Alex Syahrudin
Pemerhati Hukum
Pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyebutkan tidak dibutuhkan pembuktian aliran dana ke Tom Lembong dalam penyidikan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memicu banyak perhatian. Memang, menurut UU Tipikor, Pasal 2 dan 3 dapat dikenakan meskipun tidak menguntungkan diri sendiri, melainkan cukup menguntungkan orang lain atau korporasi. Namun, bila Tom dijerat dengan Pasal 12 UU Tipikor, pembuktian aliran dana menjadi syarat utama.
Dalam konteks Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, penetapan tersangka bisa terjadi tanpa keterlibatan langsung Tom dalam keuntungan kasus. Hal ini berarti, meskipun Tom tidak mendapat untung pribadi dari kasus ini, korporasi yang terlibat dalam impor gula mungkin meraih keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dituduhkan kepadanya.
Namun, elemen utama yang harus dibuktikan dalam penerapan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor adalah adanya kerugian negara yang nyata, terukur, dan dihitung oleh lembaga yang berwenang. Tanpa adanya kerugian negara, pembahasan mengenai tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau menguntungkan korporasi tidak relevan untuk dilanjutkan.
Peran Auditor Negara dalam Membuktikan Kerugian Negara
Untuk menetapkan adanya kerugian negara, penentuan angka kerugian tidak dapat sekadar bergantung pada perkiraan jaksa, melainkan harus berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kasus Tom Lembong, Jaksa menyebutkan dugaan kerugian negara sebesar Rp400 miliar, namun tak disertai dengan rincian asal-usul kerugian atau detail perhitungannya.
Lebih lanjut, menurut pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, audit BPK yang menjadi acuan dalam kasus impor gula ini tidak menyimpulkan adanya kerugian negara. BPK hanya memberikan rekomendasi untuk perbaikan pada Direktorat Jenderal Impor dan Direktorat Perdagangan Luar Negeri.
Situasi ini menimbulkan tanda tanya, apakah BPK belum sempat diperiksa atau justru hanya akan diperiksa setelah penetapan tersangka. Jika memang belum ada audit resmi, maka angka kerugian Rp400 miliar yang diklaim Jaksa bisa saja muncul hanya untuk memperkuat tuduhan. Di sini, terlihat adanya celah bagi jaksa untuk "mengkondisikan" kasus sesuai kebutuhan, sebuah kondisi yang mencerminkan motif politik, mengingat kasus ini muncul setelah hampir satu dekade berlalu.
Penegakan yang Tidak Adil
Tom Lembong, yang secara politik berada di pihak oposisi, seolah menjadi sasaran dari penegakan hukum yang subjektif dan diskriminatif. Hal ini terlihat dari penerapan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang lebih mudah dimanipulasi ketimbang Pasal 12 UU Tipikor yang membutuhkan bukti konkret seperti Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dalam kasus korupsi dengan Pasal 12, proses hukum cenderung lebih lugas dan tegas, karena bukti adanya suap atau gratifikasi langsung terlihat.
Namun, penerapan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sering kali diwarnai nuansa politis, seperti yang dialami oleh Tom. Jika penegakan hukum memang bertujuan untuk memberantas korupsi, semestinya setengah dari kabinet Merah Putih yang dipimpin oleh Prabowo dicopot karena dugaan keterlibatan dalam korupsi. Namun, kasus-kasus tersebut tak kunjung diusut, contohnya adalah Airlangga Hartarto yang lolos dari kasus ekspor minyak goreng.
Pola yang terjadi adalah pihak yang berada di lingkaran kekuasaan seolah kebal dari jerat hukum, sementara pihak oposisi kerap dijadikan sasaran empuk dengan proses hukum yang cenderung dipaksakan.
Tangkap Dulu, Bukti Belakangan
Adagium yang berkembang di masyarakat bahwa pihak berwenang "tangkap dulu, bukti belakangan" seakan menemukan relevansinya dalam kasus Tom Lembong. Dalam situasi ini, jaksa justru berprinsip "tetapkan dulu sebagai tersangka korupsi, hitung kerugian negara kemudian." Cara penegakan hukum seperti ini menunjukkan adanya masalah mendasar dalam sistem hukum di Indonesia yang seharusnya memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi setiap warga negara.
Pada akhirnya, selektivitas dalam penegakan hukum seperti ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik terhadap institusi hukum, tetapi juga memperlihatkan bahwa hukum kerap digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan pihak tertentu yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan. Kondisi ini patut menjadi perhatian kita bersama sebagai cerminan kondisi hukum di republik ini.
0 Komentar