TAX AMNESTY JILID III: KEBIJAKAN YANG MELUKAI RASA KEADILAN


Oleh: Darul Iaz
Pengamat Ekonomi

Pemerintah dan DPR kembali mencanangkan rencana pemberian Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty pada tahun 2025. Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Langkah ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama ekonom dan praktisi pajak, yang menilai bahwa kebijakan tersebut merusak sistem perpajakan dan mencederai rasa keadilan masyarakat.


Kebijakan Berulang yang Memicu Moral Hazard

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut bahwa tax amnesty yang terlalu sering dilakukan hanya akan menurunkan kepatuhan pajak. "Pengemplang pajak akan berpikir pemerintah akan terus melakukan tax amnesty. Ini moral hazard yang besar," ujarnya (20/11/2024).

Pada 2016, pemerintah menegaskan bahwa program pengampunan pajak hanya dilakukan sekali dalam sejarah. Namun, kebijakan serupa kembali diadakan pada 2021 dengan nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Kini, rencana tax amnesty jilid III semakin mempertegas ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjaga kredibilitas sistem perpajakan.

Ekonom Universitas Diponegoro, Wahyu Widodo, juga menekankan bahwa pengampunan pajak yang dilakukan secara berkala menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem. "Pembayar pajak yang mengemplang harusnya diadili, bukan diampuni secara periodik," tegasnya.


Kritik terhadap Rasa Keadilan

Rencana ini memantik amarah masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Kebijakan tax amnesty dianggap mencederai rasa keadilan karena memberikan keuntungan bagi pengemplang pajak, terutama kalangan orang kaya dan korporasi besar, sementara masyarakat umum justru dihadapkan pada kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 12%.

"Di saat masyarakat luas dituntut membayar pajak yang semakin berat, orang kaya justru sedang menikmati tax amnesty dari negara," ungkap Bhima. Dampak kebijakan ini juga terlihat dari persepsi masyarakat yang mulai mempertanyakan wibawa negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.


Pengaruh Negatif pada Kepatuhan Pajak

Konsultan Pajak Raden Agus Suparman dari Botax Consulting Indonesia menyatakan bahwa tax amnesty berulang kali justru menciptakan kesalahpahaman di kalangan wajib pajak awam. Banyak yang mengira bahwa pelaporan pajak hanya perlu dilakukan saat ada program seperti tax amnesty atau PPS. Hal ini merusak fondasi kepatuhan pajak secara akademis dan praktis.

"Secara akademis, pengampunan pajak yang dilakukan berkali-kali berdampak negatif pada kepatuhan pajak," ujar Raden. Ia menambahkan, obral ampunan semacam ini menunjukkan bahwa negara lebih memilih langkah pragmatis ketimbang menegakkan prinsip keadilan.


Dilema Penerimaan Negara dan Kredibilitas Pemerintah

Dari dua kali pelaksanaan tax amnesty sebelumnya, pemerintah berhasil mengumpulkan dana besar: Rp114 triliun (2016-2017) dan Rp61,01 triliun (2021). Namun, hasil tersebut diraih dengan mengorbankan prinsip keadilan dan wibawa negara.

"Untuk apa bersusah payah membuat undang-undang perpajakan dengan beragam sanksi jika di kemudian hari mengobral ampunan bagi pelanggarnya?" kritik Bhima. Kebijakan ini dianggap sebagai bukti bahwa negara menyerah kepada para pengemplang pajak, sekaligus memberikan preseden buruk bahwa ketidakpatuhan bisa dimaklumi.


Batalkan Rencana Tax Amnesty III

Daripada terus-menerus memberi karpet merah kepada pengemplang pajak, pemerintah seharusnya memperkuat sistem perpajakan dengan meningkatkan kesadaran wajib pajak dan menindak tegas pelanggaran pajak secara hukum.

Tax amnesty yang dilakukan secara berulang hanya akan memperburuk ketidakadilan sosial dan merusak kepercayaan masyarakat kepada negara. Oleh karena itu, rencana pemberian tax amnesty jilid III sebaiknya dibatalkan demi menjaga kredibilitas sistem perpajakan dan keadilan masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar