Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat
Pemerintah Indonesia resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 2025, menyusul kenaikan bertahap sejak 2022. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kebijakan ini diambil untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung pembiayaan pembangunan, dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, kritik tajam datang dari berbagai kalangan yang menilai kebijakan ini justru akan memberatkan masyarakat, terutama di tengah situasi ekonomi yang masih sulit pasca-pandemi. Kenaikan PPN dikhawatirkan menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional (CNBC Indonesia, 15/11/2024).
Data menunjukkan bahwa setelah kenaikan ini, tarif PPN Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, hanya di bawah Filipina yang menetapkan tarif 12 persen. Meski beban pajak semakin berat, fasilitas publik yang diberikan pemerintah masih belum memadai. Di sisi lain, kasus korupsi yang terus terjadi serta tingginya angka utang negara memperkuat persepsi negatif masyarakat terhadap pengelolaan fiskal oleh pemerintah. Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius terkait efektivitas kebijakan pajak yang diberlakukan.
Penyebab Kesengsaraan dari Kenaikan PPN
Kebijakan kenaikan tarif PPN adalah konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalis, yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Dalam sistem ini, pajak memiliki peran sentral dalam menutup defisit anggaran dan membiayai berbagai program pemerintah. Namun, pendekatan ini memiliki kelemahan mendasar, yaitu cenderung mengorbankan kepentingan masyarakat kecil. Dengan PPN yang lebih tinggi, harga barang dan jasa meningkat, sehingga daya beli masyarakat berkurang. Bagi kelompok masyarakat bawah, yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi kebutuhan pokok, kenaikan ini sangat terasa.
Selain itu, tingginya tingkat korupsi dan pengelolaan anggaran yang tidak transparan semakin memperburuk situasi. Meski pendapatan negara meningkat, banyak dana yang tidak digunakan secara efisien, bahkan hilang akibat praktik korupsi. Di sisi lain, pemerintah terus bergantung pada utang luar negeri untuk menutup kebutuhan anggaran. Ketergantungan ini menunjukkan lemahnya sistem fiskal yang seharusnya bisa lebih mandiri.
Ketidakadilan dalam sistem ekonomi kapitalis juga tampak jelas ketika negara lebih banyak berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan pemilik modal. Berbagai kebijakan sering kali lebih menguntungkan korporasi besar dibandingkan masyarakat umum. Misalnya, insentif pajak yang diberikan kepada perusahaan besar tidak seimbang dengan beban yang ditanggung masyarakat kecil melalui kenaikan PPN.
Lebih jauh, kenaikan PPN tidak serta-merta menjamin penerimaan negara meningkat secara signifikan. Dengan daya beli masyarakat yang menurun, konsumsi juga ikut melemah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, yang pada akhirnya justru mengurangi potensi penerimaan negara dari sektor lain. Ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal semacam ini memiliki risiko besar jika tidak disertai dengan reformasi menyeluruh dalam pengelolaan anggaran.
Sistem Ekonomi Islam yang Adil
Islam memiliki solusi komprehensif melalui sistem ekonomi yang berbeda secara mendasar dari kapitalisme. Dalam Islam, negara memiliki peran sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Konsep ini menempatkan tanggung jawab penuh pada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat tanpa membebani mereka dengan pajak yang berat. Pajak dalam Islam bukanlah sumber utama pemasukan negara, melainkan hanya menjadi opsi terakhir ketika kas negara benar-benar kosong.
Sumber utama pendapatan dalam sistem ekonomi Islam berasal dari pengelolaan kekayaan alam yang menjadi milik umum, seperti minyak, gas, dan mineral. Negara wajib mengelola sumber daya ini secara mandiri, tanpa menyerahkannya kepada swasta atau asing. Pendapatan dari sektor ini digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat, termasuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Dengan demikian, ketergantungan pada pajak dan utang dapat diminimalkan.
Selain itu, Islam menetapkan zakat sebagai instrumen fiskal utama. Zakat adalah kewajiban yang dikenakan pada harta tertentu dengan syarat yang jelas, seperti emas, perak, dan hasil pertanian. Dana zakat dikelola untuk membantu kaum fakir miskin, sehingga menciptakan redistribusi kekayaan yang adil di masyarakat. Dengan adanya zakat, kesenjangan ekonomi dapat diminimalkan tanpa membebani masyarakat dengan pajak yang merugikan.
Islam juga melarang praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dengan menekankan integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan negara. Pemimpin dalam Islam diajarkan untuk mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Dengan sistem pengawasan yang ketat, praktik korupsi dapat diminimalkan, sehingga pendapatan negara dapat digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat.
Khatimah
Kenaikan tarif PPN bukanlah solusi yang tepat untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sebaliknya, kebijakan ini hanya akan menambah beban masyarakat dan memperdalam kesenjangan ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis yang mendasari kebijakan ini memiliki kelemahan mendasar yang tidak dapat diabaikan. Sementara, Islam memberikan solusi sistemik yang berlandaskan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan mengelola sumber daya alam secara mandiri, memperkuat zakat, dan mengutamakan kebutuhan rakyat, negara dapat membangun sistem ekonomi yang lebih berkeadilan tanpa membebani masyarakat kecil.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
0 Komentar