Oleh: Darul Iaz
Penulis Lepas
Selasa, 19 November, menjadi hari yang penuh ketegangan bagi para pendukung dan pendamping Said Didu. Setelah menjalani pemeriksaan panjang di Polres Tangerang, akhirnya beliau dinyatakan bebas untuk pulang. Informasi ini telah disampaikan sebelumnya oleh Kolonel (Purn) Sugeng Waras dan Abraham Samad menjelang Ashar, memberikan harapan kepada mereka yang setia menunggu.
Namun, rasa lega itu tidak datang tanpa perjuangan. Sebelumnya, tim pendukung telah menyiapkan 145 dokumen penjamin sebagai langkah antisipasi jika Said Didu ditahan. Nama-nama besar seperti Abraham Samad, Mayjen TNI (Purn) Soenarko, Refly Harun, hingga para aktivis dan emak-emak menjadi bagian dari daftar penjamin.
Konsolidasi Solidaritas
Selama pemeriksaan yang berlangsung dari pukul 10.30 WIB hingga malam hari, solidaritas dari berbagai elemen masyarakat terlihat jelas. Tidak kurang dari 500 orang hadir, meski hanya sekitar 50 orang yang bertahan hingga kepulangan Said Didu. Peran para lawyer, aktivis, ulama, dan mahasiswa menjadi kunci utama dalam memastikan proses hukum berjalan transparan.
Pendampingan dari LBHAP PP Muhammadiyah, LBH Jakarta, hingga PBHI menunjukkan dukungan hukum yang solid. Ketika pemeriksaan selesai, Said Didu tampil percaya diri dengan mengenakan kaus bertuliskan "Manusia Merdeka," sebuah pesan simbolis yang menegaskan semangat melawan kezaliman.
Proyek PIK 2: Antara Oligarki dan Perlawanan Rakyat
Kasus Said Didu tidak bisa dilepaskan dari kritiknya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2). Proyek ini menjadi sorotan karena dianggap mencerminkan praktik oligarki, perampasan tanah rakyat, dan kerugian besar bagi negara.
Sugiyanto Kusuma alias Aguan, pemilik Grup Agung Sedayu, bersama Anthony Salim dari Salim Group, menjadi tokoh utama di balik proyek ini. Melalui PT Multi Artha Pratama (MAP), keduanya menguasai mayoritas saham PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI). Di bawah dalih PSN, tanah rakyat digusur dengan harga sangat murah 'hanya Rp50 ribu per meter', jauh di bawah nilai wajar Rp500 ribu per meter.
Dampak negatif proyek ini meluas, dari kerusakan jalan akibat truk material hingga kecelakaan yang merenggut nyawa. Bahkan, akses ke kawasan elit yang dibangun menjadi eksklusif, meminggirkan masyarakat sekitar.
Tolak Damai, Lanjutkan Perjuangan
Said Didu dengan tegas menolak mediasi dengan pelapor dari Asosiasi Pemerintah Desa (APDESI). Alasan penolakan ini didasari keterlibatan aparat desa dalam membujuk warga menjual tanah murah untuk proyek PIK 2. Menurutnya, kepala desa sebagai pejabat publik harus siap menerima kritik. “Tidak ada kata damai dengan perampas tanah dan antek-anteknya,” ujar Said Didu.
Desakan Usut Ijazah Palsu dan Keterlibatan Aguan
Dalam perkembangan lain, isu dugaan ijazah palsu dari Maskota HJS, salah satu pelapor Said Didu, menambah kontroversi. Warga Desa Belimbing mengaku Maskota sebelumnya hanya seorang pedagang sayur keliling, memunculkan kecurigaan atas gelar sarjana ekonominya. Selain itu, FPPI (Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia) menuntut polisi segera menangkap Aguan terkait perampasan tanah di berbagai proyek properti.
Melawan Oligarki, Menolak Kezaliman
Kasus Said Didu dan polemik proyek PIK 2 mencerminkan perjuangan rakyat melawan dominasi oligarki. Dukungan dari masyarakat, ulama, dan tokoh-tokoh nasional menjadi sinyal bahwa keadilan dan kebenaran masih diperjuangkan.
“Takbir! Allahu Akbar!” teriak para pendukung Said Didu yang tetap optimis melawan kezaliman. Perjuangan melawan oligarki properti ini menjadi pengingat bahwa rakyat tidak akan diam terhadap ketidakadilan. Semoga langkah ini menjadi awal perubahan besar bagi bangsa Indonesia.
0 Komentar