KOMPROMI POLITIK INDONESIA-CHINA TENTANG BATAS WILAYAH DAN KEDAULATAN


Oleh: Hamzah Al-Fatih
Penulis Lepas

Salah satu konflik klasik terkait kedaulatan antara Indonesia dan China adalah sengketa perairan di Laut Natuna Utara. China mengklaim perairan tersebut sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan klaim "Nine Dash Line." Di sisi lain, Indonesia menegaskan bahwa perairan Laut Natuna Utara merupakan wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang juga diratifikasi oleh China.

Meskipun menjadi anggota UNCLOS, China tetap mengklaim sebagian wilayah perairan Indonesia sebagai miliknya. Padahal, UNCLOS telah menetapkan norma-norma mengenai batas laut dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Berdasarkan UNCLOS, perairan Laut Natuna Utara jelas termasuk wilayah kedaulatan Indonesia, dan China tidak memiliki hak di perairan tersebut.

Penggantian nama perairan dari Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara bertujuan untuk menghilangkan legitimasi bagi klaim China. Di era kepemimpinan Menko Maritim Rizal Ramli, kedaulatan wilayah Indonesia ini dijaga ketat dan diperjuangkan tanpa kompromi.

Namun, di era Prabowo, permasalahan kedaulatan ini tampaknya dipandang lebih remeh dan dianggap dapat dipertukarkan dengan bentuk kompensasi tertentu. Langkah politik ini menimbulkan kritik keras karena dianggap tidak mencerminkan sikap seorang negarawan, terlebih seorang jenderal yang bertugas menjaga kedaulatan negara.

Pada kunjungan resmi Prabowo ke China, salah satu hasilnya adalah disepakatinya Joint Statement antara Prabowo dan Presiden China Xi Jinping pada 9 November. Dalam poin kesembilan yang berjudul "Kedua Belah Pihak Akan Menciptakan Lebih Banyak Titik Terang dalam Kerjasama Maritim" disebutkan adanya kesepahaman tentang "pengembangan bersama di area yang memiliki klaim tumpang tindih."

Kesepakatan ini merupakan babak baru dalam penyelesaian sengketa kedaulatan yang dianggap kontroversial. Dengan kesepakatan ini, secara implisit Indonesia diindikasikan mengakui adanya wilayah tumpang tindih yang diklaim oleh China, meskipun wilayah tersebut sebenarnya termasuk dalam wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan UNCLOS.

Sebelum kesepakatan ini, Indonesia dan China bersitegang terkait batas wilayah di Laut Natuna Utara. Indonesia dengan tegas berupaya mempertahankan wilayah kedaulatannya, yang dianggap sebagai simbol martabat bangsa sekaligus untuk melindungi kekayaan sumber daya alam (SDA) di perairan tersebut dari eksploitasi.

Namun, pasca lawatan Prabowo ke China, terjadi perubahan sikap Indonesia. Indonesia kini berencana untuk melakukan negosiasi dengan China dalam upaya menetapkan kembali batas wilayah kedaulatan. Langkah ini membuka kemungkinan bahwa sebagian wilayah yang sebelumnya diklaim Indonesia akan dinegosiasikan dengan China, dengan penetapan titik-titik perbatasan baru yang akan dibahas oleh kedua negara.

Kompromi ini tampaknya tidak lepas dari faktor ekonomi. Prabowo memerlukan dukungan dana untuk memenuhi janji kampanye, salah satunya terkait penyediaan makan siang gratis dan bergizi untuk rakyat. Pemerintah China juga menyatakan komitmennya untuk mendukung pendanaan bagi program makan siang bergizi gratis di Indonesia, yang diwujudkan melalui penandatanganan MoU Project Funding Agreement terkait Program Pemberian Makanan Tambahan di Indonesia.

China tidak hanya menawarkan bantuan makan siang, tetapi juga investasi besar-besaran yang dinilai berpotensi sebagai bentuk "penjajahan gaya baru." Presiden Prabowo bahkan menyambut antusias kontrak senilai lebih dari USD 10 miliar yang akan ditandatangani antara perusahaan Indonesia dan perusahaan China.

Kesepakatan ini akan menuai reaksi keras dari negara-negara yang juga bersengketa dengan China di Laut China Selatan, seperti Brunei, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. Langkah Indonesia untuk mengatur ulang wilayah tumpang tindih ini berpotensi memberi China legitimasi untuk tetap mengklaim wilayah negara-negara tersebut berdasarkan Nine Dash Line, yang selama ini tidak diakui oleh dunia internasional sebagai dasar batas kedaulatan negara.


Penutup

Sengketa kedaulatan di Laut Natuna Utara menggambarkan betapa kompleksnya isu perbatasan yang melibatkan berbagai kepentingan, mulai dari kedaulatan hingga ekonomi. Langkah pemerintah dalam berkompromi dengan China menimbulkan kekhawatiran tentang kedaulatan Indonesia di masa mendatang. Bagi sebagian pihak, keputusan ini dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan dan integritas wilayah negara, sekaligus membuka babak baru dalam hubungan Indonesia-China yang penuh dengan tantangan diplomasi.

Posting Komentar

0 Komentar