Oleh: Alex Syahrudin
Pemerhati Lingkungan
Pulau Kabaena, surga kecil di Sulawesi Tenggara, menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Namun, di balik keindahannya, tersembunyi kenyataan pahit akibat eksploitasi tambang nikel yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Kehadiran tambang tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga membawa kesengsaraan bagi masyarakat setempat.
Kerusakan Alam yang Parah
Bentang alam Kabaena yang memukau kini tercemar oleh limbah tambang. Air laut yang dulunya biru berubah menjadi coklat keruh, kondisi ini telah berlangsung lebih dari satu dekade. Aktivitas tambang yang berada di hulu menyebabkan resapan air lenyap. Saat hujan turun deras, lumpur terbawa ke pesisir, mengendap, dan mencemari laut.
Pemandangan laut yang berubah menjadi coklat bukan sekadar menjadi gangguan visual. Bagi masyarakat Desa Baliara, kondisi ini menghancurkan sumber mata pencaharian mereka. Nelayan dan petani rumput laut kini kesulitan bertahan hidup. Air yang keruh membuat rumput laut tidak lagi subur, bahkan sering rusak sebelum bisa dipanen.
Dampak Langsung pada Kesehatan Warga
Air tercemar juga membawa ancaman kesehatan. Penyakit kulit, seperti gatal-gatal kronis, menjadi masalah umum bagi warga Kabaena. Di Desa Baliara, kasus penyakit kulit tercatat tinggi. Data Puskesmas menunjukkan ratusan kasus setiap tahunnya, seperti 95 kasus di Kabaena Induk pada 2022 dan 102 kasus di Kabaena Selatan pada 2023.
Kandungan logam berat, seperti nikel, dalam air tercemar mencapai 3 mg/liter (69 kali lipat dari batas aman biota laut sebesar 0,05 mg/liter). Selain gatal-gatal, kondisi ini pernah memicu insiden tragis. Pada 2021, seorang balita tenggelam di air keruh, dan sulitnya proses pencarian membuat nyawa korban tak terselamatkan.
Tambang dan Kehancuran Ekosistem
Pulau kecil seperti Kabaena, yang luasnya hanya 837 km², seharusnya dilindungi berdasarkan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, kenyataannya, sekitar 655 km² lahan pulau ini telah dikonsesi untuk tambang nikel. Aktivitas penambangan bahkan melanggar aturan dengan menerabas kawasan hutan lindung.
Belasan perusahaan tambang aktif di Kabaena, termasuk PT Timah Investasi Mineral dan PT Trias Jaya Agung, disebut-sebut menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan. Perusahaan-perusahaan ini dituding tidak bertanggung jawab atas pencemaran air, kerusakan lahan, hingga banjir yang sering terjadi, seperti banjir besar pada 2016 dan 2023.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Eksploitasi tambang tidak membawa kesejahteraan bagi warga Kabaena. Sebaliknya, mereka harus bergulat dengan pencemaran, kehilangan mata pencaharian, dan terbatasnya akses terhadap air bersih. Bahkan, beberapa perusahaan tambang diketahui memiliki riwayat pelanggaran hukum, termasuk penambangan ilegal dan dugaan korupsi.
Warga Kabaena berharap pemerintah pusat menghentikan pemberian izin tambang baru di pulau mereka. Namun, suara mereka kerap tidak didengar. Mahkamah Konstitusi (MK) memang menolak gugatan perusahaan tambang untuk memperluas operasi di pulau kecil, tetapi aktivitas tambang yang ada tetap berlangsung, mengikis harapan masyarakat akan keadilan ekologis.
Penutup
Kerusakan lingkungan di Kabaena mencerminkan ironi pembangunan. Kekayaan alam yang dieksploitasi justru membuat masyarakat sekitar terpinggirkan. Harapan agar tambang menjadi solusi kesejahteraan berubah menjadi mimpi buruk. Masyarakat Kabaena kini hanya berharap agar pemerintah lebih berpihak pada pelestarian lingkungan dan hak-hak mereka, bukan pada keuntungan segelintir pihak yang merusak tanah mereka.
0 Komentar