Oleh: Arslan Al-Fatih
Penulis Lepas
Dalam akidah Islam, hanya Rasulullah Muhammad ﷺ yang bersifat ma'shum (terjaga dari kesalahan dan dosa). Sementara itu, manusia lainnya, termasuk para sahabat, tetap memiliki kemungkinan melakukan kesalahan, meskipun mereka adalah generasi terbaik umat ini. Sebagai contoh, Mu'awiyah bin Abu Sufyan pernah melakukan kekeliruan ketika memaksakan bai'at atas putranya, Yazid bin Mu'awiyah. Namun demikian, status para sahabat tetap adil, dan semua hadis yang mereka riwayatkan diterima.
Lalu, bagaimana dengan kita yang bukan sahabat? Tentunya, kita lebih mungkin terjerumus dalam kesalahan. Hal ini mengingatkan kita untuk senantiasa saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran.
Tanggung Jawab Pemimpin dan Kewajiban Jamaah
Para pemimpin, baik dalam pemerintahan maupun jamaah dakwah, juga tidak terlepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, penting untuk memahami hubungan antara pemimpin dan jamaahnya.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Ketaatan kepada Pemimpin
Ketaatan kepada pemimpin berlaku selama pemimpin tersebut taat kepada Allah ﷻ. Tidak ada ketaatan terhadap pemimpin jika keputusan mereka mengarah pada kemaksiatan atau bertentangan dengan syariat Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:
لا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan oleh Ahmad [1041], dan hadits itu shahih)
Ijtihad Pemimpin
Jika pemimpin mengeluarkan keputusan berdasarkan ijtihad, maka keputusan itu harus dinilai apakah sesuai dengan hukum syara’ dan fakta. Jika keputusan tersebut lemah (dhoif), jamaah tetap berkewajiban mengoreksi dengan dalil yang lebih kuat. Namun, apabila pemimpin tidak mengubah keputusan, jamaah disarankan tetap taat, mengingat tanggung jawabnya sebagai makmum.
Bagi yang tidak mengikatkan diri kepada pemimpin tersebut, keputusan pemimpin tidak bersifat mengikat. Dalam hal ini, dasar penerimaan keputusan adalah kekuatan dalil, bukan taklid pada sosok tertentu.
Sikap terhadap Pilkada dalam Sistem Demokrasi
Terkait Pemilihan kepala daerah (Pilkada), khususnya di DKI Jakarta, penting untuk memahami fakta hukum syara’ yang berlaku:
- Pilkada sebagai Bagian Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi menjadikan kedaulatan rakyat sebagai sumber hukum, bertentangan dengan prinsip Islam yang menjadikan syariat sebagai satu-satunya sumber hukum. Oleh karena itu, terlibat dalam Pilkada, baik sebagai calon maupun pemilih, adalah haram.
- Kondisi Paslon yang Tidak Ideal
Ketiga pasangan calon (Paslon) yang ada tidak memenuhi kualifikasi sesuai syariat, baik karena bukan muslim, didukung oleh partai anti-Islam, atau diendors oleh figur yang terlibat dalam kezaliman terhadap umat Islam. Memilih salah satu dari mereka berarti memberikan legitimasi atas kezaliman tersebut, yang jelas-jelas dilarang dalam Islam.
- Dalih ‘Akhofu Dhorurain’ (Memilih yang Lebih Ringan)
Menggunakan kaidah ini dengan alasan pragmatisme tetap akan dihisab oleh Allah ﷻ. Pilihan pragmatis tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawab atas keputusan yang salah.
- Mengikuti Arahan Imam
Bagi yang memiliki imam, ketaatan kepada arahan imam dalam memilih menjadi tanggung jawab imam tersebut. Meski demikian, ketaatan ini tidak mengubah pilihan yang keliru menjadi benar.
- Arahan Imam untuk Tidak Memilih
Jika imam menyarankan untuk tidak memilih dengan alasan syar'i yang kuat, maka jamaah yang mengikuti arahan ini mendapatkan dua kebaikan: pertama, karena mengambil pendapat yang lebih kuat (rajih), dan kedua, karena ketaatan kepada imam.
- Keputusan Independen
Bagi yang tidak terikat dengan imam, pilihan independen akan dinilai berdasarkan baik atau buruknya keputusan tersebut sesuai hukum syara’.
Kesimpulan
Memahami hukum syara’ dalam setiap keputusan, termasuk dalam konteks politik, adalah kewajiban setiap muslim. Di akhirat kelak, setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap pilihan yang diambil. Oleh karena itu, penting untuk memastikan setiap keputusan didasarkan pada dalil yang kuat, bukan sekadar pragmatisme atau kepentingan duniawi.
Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk menjalankan syariat Islam dengan istiqamah, baik dalam urusan pribadi, jamaah, maupun kehidupan bermasyarakat.
0 Komentar