GAYA KEPEMIMPINAN PRABOWO MAKIN BERKIBLAT PADA JOKOWI?


Oleh: Darul Al-Fatih
Penulis Lepas

Pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, bahwa kepala negara dan menteri diperbolehkan memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu dalam pemilu, termasuk pilkada, mengundang berbagai reaksi. Menurutnya, aturan netralitas hanya berlaku untuk TNI-Polri dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan dalih ini, dukungan Prabowo kepada pasangan calon Ahmad Luthfi dan Taj Yasin dalam Pilkada Jawa Tengah dianggap sah dan wajar, meski disinyalir sarat dengan kepentingan politik.

Tidak dapat dipungkiri, dukungan ini memberikan kesan bahwa Prabowo saat ini masih berada di bawah kendali pengaruh Jokowi. Diketahui sebelumnya, Prabowo sowan kepada Jokowi sebelum video dukungannya kepada pasangan Ahmad Luthfi dan Taj Yasin di Pilkada Jawa Tengah tersebar. Situasi ini menyiratkan bahwa keputusan tersebut lebih bersifat sebagai "titah" Jokowi, bukan inisiatif pribadi Prabowo.


Ketidakselarasan dengan Janji Netralitas di Acara PAN

Sikap Prabowo ini juga dinilai bertentangan dengan janjinya di acara PAN, di mana ia menyatakan akan menyerahkan Pilkada kepada politisi daerah dan tidak akan "cawe-cawe" atau terlibat dalam urusan pemilihan di tingkat lokal. Tindakan Prabowo yang mendukung pasangan tertentu di Pilkada Jawa Tengah mengonfirmasi bahwa netralitas tersebut hanya sekadar janji yang terabaikan. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa Prabowo, sebagai tokoh nasional, tidak sepenuhnya bertindak independen, melainkan terikat dengan dinamika politik yang diwariskan oleh Jokowi.


Warisan Perpecahan Bangsa

Melalui dukungan terhadap calon tertentu, Prabowo seakan melanjutkan apa yang kerap dikritiknya selama ini: politik yang memecah belah bangsa. Dukungan yang diberikan hanya kepada pasangan tertentu, Ahmad Luthfi dan Taj Yasin, menegaskan bahwa Prabowo masih mengedepankan kepentingan kelompok di atas kepentingan rakyat luas. Padahal, rakyat yang tidak memilih pasangan tersebut juga merupakan warga negara yang layak mendapat perhatian yang sama.

Sikap Prabowo ini menegaskan bahwa ia lebih memilih menjadi pemimpin yang hanya memperhatikan pendukungnya, bukan pemimpin bagi seluruh rakyat, khususnya di Jawa Tengah. Langkah ini menunjukkan kesamaan gaya kepemimpinan antara Prabowo dan Jokowi, yang kerap dituding menggunakan kekuasaan untuk memperkuat kelompoknya sendiri, sekaligus memperlemah kepercayaan publik terhadap netralitas seorang pemimpin nasional.


Menguji Ketulusan Prabowo dalam Menghapus Warisan Perpecahan

Jika Prabowo ingin benar-benar menghapus warisan perpecahan yang selama ini melekat pada era Jokowi, langkah yang paling bijak seharusnya adalah bersikap netral dalam pilkada dan pemilu. Tidak hanya itu, Prabowo juga harus menunjukkan bahwa semua pasangan calon mendapatkan perlakuan yang sama, dan tidak ada keberpihakan politik yang berlebihan. Menjadi Presiden bukan berarti membatasi dukungan pada kelompok atau partai tertentu, tetapi lebih kepada mengayomi seluruh rakyat secara adil dan merata.


Kesuraman Masa Depan Politik Indonesia

Dari tindakan ini, terlihat bahwa harapan akan adanya perubahan gaya kepemimpinan yang lebih demokratis dan netral sepertinya semakin menjauh. Prabowo, yang digadang-gadang akan menjadi pemimpin yang memperhatikan semua kalangan, justru terkesan mengikuti jejak Jokowi dalam mengutamakan kepentingan politik kelompoknya. Hal ini tentu mengecewakan, karena rakyat berharap pada sosok pemimpin yang mampu mempersatukan dan tidak lagi memihak pada kelompok atau golongan tertentu.

Kondisi ini menambah kekhawatiran bahwa Indonesia akan semakin tenggelam dalam politik yang gelap dan suram. Dukungan Prabowo yang terkesan melanggengkan perpecahan membuat rakyat harus lebih waspada dan kritis dalam memilih pemimpin ke depannya. Pemimpin yang benar-benar bisa berdiri di atas semua golongan adalah kebutuhan mendesak demi mewujudkan masa depan yang lebih baik untuk bangsa ini.

Posting Komentar

0 Komentar