Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat
Isu perubahan kurikulum kembali mencuat seiring pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menenga (Mendikdasmen) yang berencana menerapkan pendekatan deep learning dalam pendidikan nasional. Meskipun deep learning bukanlah kurikulum baru, melainkan metode pembelajaran, masyarakat kerap kali melihat perubahan ini sebagai indikasi pergantian kurikulum. Persepsi “ganti menteri, ganti kurikulum” pun semakin menguat di masyarakat. Pertanyaannya: ke mana sebenarnya arah pendidikan Indonesia akan dibawa?
Peristiwa terbaru yang memicu polemik ini adalah pernyataan Abdul Muti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendisdakmen), yang menyebutkan kemungkinan mengganti Kurikulum Merdeka dengan pendekatan deep learning. Rencana ini telah memicu berbagai tanggapan, terutama dari pendidik dan orang tua yang khawatir akan adaptasi yang terus-menerus diperlukan akibat perubahan kebijakan. Dalam wawancaranya, Abdul Muti menjelaskan bahwa deep learning bertujuan membantu siswa memahami materi secara lebih mendalam, bukan sekadar menghafal (Republika, 2024). Namun, publik merasa perubahan ini masih berpotensi menambah kebingungan, mengingat Kurikulum Merdeka baru berjalan kurang dari lima tahun dan masih dalam tahap adaptasi di banyak sekolah.
Ketidakpastian ini bertambah ketika Mendikdasmen menyebut bahwa perubahan kurikulum kerap dilakukan untuk menyesuaikan dengan tuntutan global dan industri. Beberapa pakar pendidikan berpendapat bahwa pendekatan ini cenderung mengorbankan nilai-nilai lokal dan kebutuhan karakter bangsa. Menurut mereka, kurikulum yang sering berubah terutama demi mengikuti tren global tidak selalu sesuai dengan konteks sosial dan budaya Indonesia, yang justru dapat melemahkan identitas generasi muda (Kompas, 2024).
Istilah deep learning yang muncul dalam wacana pendidikan bukanlah kurikulum baru, melainkan metode pembelajaran. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah menyebut bahwa deep learning dimaksudkan sebagai pendekatan untuk memahami materi secara mendalam, agar siswa dapat berpikir analitis dan memecahkan masalah.
Namun, ada kekhawatiran bahwa deep learning akan membawa pendidikan ke arah yang terlalu berfokus pada aspek kognitif semata, tanpa memperhatikan aspek afektif dan spiritual yang penting dalam membangun karakter bangsa. Jika pendekatan ini diterapkan dalam kurikulum yang tetap berlandaskan nilai sekuler kapitalisme, hasilnya bisa menjadi bumerang bagi bangsa. Sistem pendidikan yang hanya menekankan pada pemenuhan tuntutan industri tanpa mempertimbangkan karakter dan adab, dapat menciptakan generasi yang minim moralitas dan hanya mengejar kesuksesan materiil.
Salah satu alasan di balik seringnya perubahan kurikulum adalah kurangnya visi dan misi yang jelas dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan sering kali diubah mengikuti tuntutan global atau perkembangan industri yang dinamis, tanpa mempertimbangkan dampak buruknya. Jika pendidikan hanya dilihat sebagai alat untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai bagi industri, maka aspek-aspek utama pendidikan seperti pembentukan karakter, moral, dan adab akan terabaikan.
Kurikulum yang terus berubah bisa jadi diupayakan demi peningkatan mutu pendidikan. Namun, ketika perubahan ini hanya berdasarkan tuntutan global, yang dihasilkan justru generasi yang bingung dan tanpa pegangan nilai yang jelas. Kondisi ini tentu membahayakan masa depan bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan sosial di masa mendatang.
Perubahan kurikulum yang terjadi selama ini umumnya masih berlandaskan sekuler kapitalisme, yang lebih mementingkan aspek kognitif siswa dan pencapaian akademis semata. Pendidikan yang berlandaskan sekuler kapitalisme terbukti tidak mampu mencetak generasi yang unggul dalam aspek spiritual dan karakter. Dalam sistem sekuler, aspek-aspek moral dan agama sering kali hanya menjadi materi tambahan, tanpa ditekankan sebagai nilai utama yang membentuk kepribadian siswa. Kurikulum berbasis sekuler ini justru menghasilkan generasi yang kurang menghargai adab, terbiasa dengan kebebasan berpikir yang tidak terbatas, dan lebih rentan terjerumus dalam gaya hidup yang hanya mengejar kesenangan dan materi.
Dalam pemerintahan Islam, sistem pendidikan diterapkan berdasarkan akidah Islam, dan ini bisa menjadi solusi. Pendidikan Islam menekankan tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan kepribadian yang berakhlak mulia. Visi dan misi pendidikan dalam Islam sangat jelas, yaitu mencetak generasi yang berkepribadian Islam, berilmu yang bermanfaat, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Sistem pendidikan Islam terbukti melahirkan banyak tokoh besar dalam sejarah peradaban Islam, seperti Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi, yang tidak hanya unggul dalam ilmu, tetapi juga berakhlak mulia. Pendidikan Islam menekankan pentingnya integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai akhlak, yang menjadi kunci keberhasilan dalam membentuk manusia seutuhnya.
Implementasi sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam dapat menciptakan generasi emas yang berkepribadian Islam, berilmu yang bermanfaat, dan mampu berkontribusi nyata bagi kemaslahatan umat. Pendidikan Islam membentuk individu yang pintar sekaligus beradab, sehingga mampu menjadi pemimpin yang bijaksana di masa depan.
Dalam menghadapi tantangan global, pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam tetap relevan karena bersifat universal dan tidak tergantung pada perubahan zaman. Kurikulum berbasis Islam memiliki arah yang jelas dalam mencapai tujuan pendidikan, yaitu mencetak manusia yang beriman, berilmu, dan beramal shalih.
Perubahan kurikulum tanpa arah yang jelas hanya akan membingungkan masyarakat dan merusak masa depan generasi muda. Pendidikan seharusnya tidak hanya fokus pada kebutuhan industri, tetapi juga pembentukan karakter. Sistem pendidikan Islam menawarkan visi yang jelas, serta mampu mencetak generasi berkualitas dan berakhlak mulia, dengan ilmu yang berlandaskan nilai-nilai moral dan akidah yang kuat.
Wallahu ‘alam bish-shawwab.
0 Komentar