AGUAN DAN PROYEK PIK: REALITAS DI BALIK JANJI PEMBANGUNAN MASJID DAN 10.000 RUMAH


Oleh: Arslan
Pengamat Politik dan Perubahan

Sebuah artikel yang dirilis oleh Kompas baru-baru ini menyoroti pengusaha properti ternama, Sugianto Kusuma alias Aguan, dengan headline “Aguan Bakal Bangun Masjid hingga 10.000 Rumah di PIK.” Pemilihan judul tersebut dapat memberikan persepsi seolah-olah Aguan berkomitmen mendukung umat Islam dengan membangun masjid, selain proyek perumahan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, ada beberapa poin penting yang perlu dicermati agar publik memahami fakta sesungguhnya.


Sekilas Tentang Proyek PIK

Aguan, melalui perusahaannya Agung Sedayu Group (ASG), berencana membangun satu masjid di Pantai Indah Kapuk (PIK), tepatnya di lahan seluas 1,5 hektar. Selain itu, ASG akan menambahkan ruko, danau, serta area khusus makanan halal di lahan seluas 10 hektar. Pada 2025, direncanakan juga pembangunan 10.000 unit rumah di kawasan ini. Meskipun judul berita terlihat menunjukkan dukungan terhadap umat Islam, kenyataannya proyek ini adalah murni bisnis yang berorientasi pada keuntungan properti. Tidak ada manfaat langsung dari proyek ini untuk masyarakat kecil, khususnya terkait peningkatan kesejahteraan nasional.


Dukungan Pemerintah dan Kontroversi Tanah

Proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dukungan status PSN ini telah menimbulkan berbagai masalah, khususnya konflik tanah. Dilaporkan bahwa beberapa warga kehilangan hak tanahnya demi pengembangan PIK, dan beberapa orang yang berusaha mempertahankan hak mereka harus menghadapi proses hukum, bahkan berujung pada kriminalisasi. Dalam konteks ini, Said Didu, seorang tokoh yang kerap vokal, menyebut proyek ini sebagai “negara dalam negara,” merujuk pada kuatnya pengaruh bisnis yang dilindungi oleh kekuasaan.


Pembangunan Masjid Alat Untuk Meraih Simpati?

Di era pemerintahan selanjutnya, termasuk Prabowo, Aguan tampak berupaya melanjutkan proyeknya dengan cara yang sama, bahkan mencitrakan proyeknya sebagai upaya yang “ramah terhadap umat Islam.” Rencana pembangunan satu masjid di PIK digunakan untuk membentuk citra bahwa proyek ini memiliki dampak positif bagi umat. Namun, melihat sejarah konflik dan ketidakadilan terkait penguasaan lahan, publik mungkin perlu waspada akan dampak sosial dan budaya yang terjadi di balik pembangunan masjid tersebut.


Potensi Penghilangan Syiar Islam

Perlu dipahami bahwa pembangunan kawasan elite ini dapat membawa dampak pada syiar Islam yang ada di wilayah tersebut. Dalam kawasan proyek PIK 2 yang dikembangkan oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group, terdapat masjid dan mushola yang kemungkinan terdampak oleh pembangunan ini. Banyak kegiatan keagamaan seperti pengajian, shalat berjamaah, bahkan kegiatan Maulid Nabi yang mungkin saja terhapus dengan adanya perubahan fungsi lahan menjadi kawasan perumahan elit dan pusat hiburan.

Sebagai tambahan, menurut data yang tersedia di situs resmi Agung Sedayu, total pengembangan lahan PIK 2 adalah 2.650 hektar, namun beberapa sumber menyebutkan bahwa luas kawasan ini dapat mencapai 100.000 hektar, meluas hingga ke perbatasan Serang. Ini berarti wilayah proyek PIK 2 berpotensi lebih luas daripada Jakarta atau bahkan Singapura, yang dapat merubah secara drastis lanskap kawasan tersebut.


Kasus Penyerobotan Tanah

Kasus penyerobotan tanah milik SK Budiardjo dan Nurlela di Cengkareng menjadi contoh konkret dampak dari kebijakan penguasaan tanah ASG. Pada tahun 2010, tanah mereka dirampas oleh PT Sedayu Sejahtera Abadi (PT SSA), anak usaha dari Agung Sedayu Group. Meski memiliki bukti kepemilikan sah, mereka mengalami berbagai intimidasi, termasuk tindakan kekerasan yang melibatkan preman serta oknum Brimob.

Kasus ini kemudian dilaporkan dan menjadi kasus hukum yang macet di tingkat kepolisian. Menurut laporan resmi, kasus tersebut sebenarnya memenuhi unsur pidana dan bahkan telah dilakukan gelar perkara oleh Mabes Polri. Namun, hingga kini belum ada perkembangan signifikan dalam penyidikan, diduga karena adanya pengaruh besar ASG di balik kasus ini.


Penyegelan Ruko Tanpa Izin

Kasus ini diperburuk dengan adanya bangunan ruko-ruko milik PT SSA di kawasan Golf Lake Residence, Cengkareng, yang dibangun tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada 2016, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyegel bangunan ruko-ruko tersebut, mengingat pembangunan dilakukan di atas tanah milik SK Budiardjo dan Nurlela yang sah. Tindakan pemerintah ini didasarkan pada surat resmi yang menjelaskan bahwa izin yang dimiliki PT SSA tidak meliputi lahan tersebut.


Kapan Keadilan Akan Terwujud?

Kasus-kasus seperti penyerobotan tanah, konflik IMB, dan dampak sosial dari pembangunan besar-besaran ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang keadilan dan transparansi. Dalam kasus-kasus tertentu, keterlibatan para pemilik dan pengendali utama PT SSA seperti Aguan, Alexander Halim Kusuma, dan Ellen Kusumo, sangat patut disoroti. Mereka adalah figur-figur utama dalam pengembangan ASG yang diduga bertanggung jawab atas konflik tanah serta dampak-dampak sosial yang ditimbulkan.

Banyak yang menunggu kapan penegakan hukum yang transparan dapat benar-benar dilakukan dalam kasus ini. Selama proses hukum masih menemui jalan buntu, keadilan bagi masyarakat yang terdampak akan tetap menjadi perjuangan panjang. Proyek PIK yang digembar-gemborkan sebagai proyek mewah tampaknya juga membawa dampak yang nyata pada masyarakat kecil yang masih harus memperjuangkan hak mereka di tanah sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar