TUNTUTAN ADILI JOKOWI MAKIN MASIF: TIADA MAAF BAGIMU!


Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat

"Bapak, ibu, seluruh warga yang saya hormati, saya adalah manusia biasa yang penuh dengan kesalahan, yang penuh dengan kekurangan, yang penuh dengan kekhilafan," – Jokowi, NTT, 2 Oktober 2024

Di tengah persiapan menjelang lengser dari jabatannya pada 20 Oktober 2024, Presiden Joko Widodo kembali menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat. Dalam kunjungannya di Nusa Tenggara Timur (NTT), Jokowi mengakui berbagai kesalahan yang telah terjadi selama masa kepemimpinannya. Namun, di balik kata-kata yang diucapkan melalui megafon di Pasar Kefamenanu, tersirat kekhawatiran yang mendalam. Tuntutan untuk menyeretnya ke pengadilan pasca lengser terus menggema dan semakin masif.

Permintaan maaf ini bukan yang pertama kalinya disampaikan oleh Jokowi. Namun, banyak pihak menilai, di akhir masa kepemimpinannya, Jokowi mulai menunjukkan rasa takut yang mendalam terhadap kemungkinan tuntutan hukum yang semakin dekat. Salah satu tuntutan yang paling menonjol adalah gugatan hukum yang diajukan oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) dan sejumlah tokoh lainnya, yang menuduh Jokowi melakukan kebohongan publik sejak tahun 2012 hingga 2024.


Gerakan Tuntutan Hukum Terhadap Jokowi

Gerakan menuntut Jokowi pasca lengser pertama kali digagas oleh para tokoh nasional, advokat, ulama, dan aktivis pada 15 Juli 2024. Mereka berkumpul di Jakarta dalam acara bertema "Evaluasi Total Kinerja Rezim Jokowi Jelang Lengser 20 Oktober 2024 Part 1". Dalam pertemuan tersebut, para peserta sepakat bahwa evaluasi total terhadap kinerja Presiden Jokowi harus disampaikan kepada publik agar semua tindakan zalim yang telah dilakukan bisa dipertanggungjawabkan.

"Saudara Joko Widodo tidak boleh lengser begitu saja dari jabatan tanpa mendapatkan sanksi dan pertanggungjawaban," ungkap salah satu aktivis yang disampaikan dalam forum tersebut. Presiden pengganti juga tidak boleh mengikuti jejak kinerja buruk Jokowi yang dianggap membawa kesengsaraan bagi rakyat.


Tuntutan Masif dan Gugatan Hukum

Pada 21 September 2024, tuntutan terhadap Jokowi makin spesifik. Sejumlah advokat, ulama, tokoh bangsa, dan aktivis nasional mendesak agar Jokowi diseret ke pengadilan setelah lengser. Salah satu poin penting yang mereka tekankan adalah bahwa semua kejahatan dan kezaliman Jokowi sudah dirasakan oleh seluruh rakyat. Mereka menegaskan, kesulitan dalam menyeret Jokowi ke meja hijau selama ini bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena perlindungan kekuasaan yang dimiliki Jokowi sebagai Presiden.

Tak hanya Jokowi, dinasti politiknya juga disorot. Tuntutan keenam yang diajukan dalam pernyataan tersebut menyerukan pengusutan tuntas dugaan korupsi yang melibatkan anak-anak Jokowi, yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, serta menantu Jokowi, Bobby Nasution.

Tuntutan untuk menyeret Jokowi ke penjara semakin membesar layaknya bola salju. Pada 28 September 2024, Forum Tanah Air (FTA) menggelar diskusi di Jakarta, dengan dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional seperti Refly Harun, Marwan Batubara, Said Didu, dan Din Syamsuddin. Meski acara ini dibubarkan, opini publik terus berkembang. Dua hari setelahnya, tepatnya pada 30 September 2024, HRS bersama sejumlah tokoh lainnya mengajukan gugatan resmi atas berbagai kebohongan yang dilakukan oleh Jokowi.

Gugatan yang diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini menjadi langkah awal untuk menuntut pertanggungjawaban Jokowi di hadapan hukum. Sidang perdana dijadwalkan berlangsung pada 8 Oktober 2024.


Menjelang Akhir Kekuasaan

Pada 1 Oktober 2024, sejumlah tokoh kembali berkumpul dalam acara silaturahmi di Jakarta, yang diprakarsai oleh Faizal Assegaf, seorang kritikus politik. Pertemuan tersebut dihadiri oleh berbagai tokoh nasional seperti Abraham Samad, Karni Ilyas, Gatot Nurmantyo, dan Said Didu, yang juga menyuarakan tuntutan agar Jokowi diadili setelah lengser.

Seiring mendekatnya tanggal 20 Oktober 2024, gerakan menuntut Jokowi ke pengadilan semakin luas dan mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Walaupun Jokowi telah berulang kali meminta maaf, sebagian besar rakyat tetap teguh pada tuntutan mereka. Mereka menginginkan keadilan ditegakkan dan memastikan bahwa setiap tindakan yang merugikan rakyat harus dihukum setimpal.

Rakyat tampaknya tidak akan memberi maaf begitu saja kepada Jokowi. Bahkan jika ada yang memaafkan, itu tidak akan menghapus kesalahan yang sudah terlanjur diperbuat selama masa pemerintahannya. Maka, seruan "Tiada Maaf Bagimu, Jokowi!" menjadi suara yang semakin lantang di tengah masa transisi kekuasaan ini.

Posting Komentar

0 Komentar