Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Kuasa Hukum SARUDIN Dkk, Warga Prabumulih Korban Mafia Tanah
Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru, Nusron Wahid, tentang mafia tanah memang patut diapresiasi. Nusron menyebutkan bahwa mafia tanah selalu melibatkan berbagai sektor, baik dari dalam maupun luar. Ia menyoroti bahwa mafia tanah kerap melibatkan pemborong tanah, oknum kepala desa, notaris, pengacara, dan calo. Pernyataan ini menunjukkan kesadaran atas kompleksitas masalah tanah yang terjadi di Indonesia.
Namun, pernyataan Nusron Wahid bukanlah hal baru. Sebelumnya, Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono juga pernah menggembar-gemborkan akan menggebuk mafia tanah dengan slogan "Gebuk! Gebuk!" Namun, kenyataannya, janji tersebut tak pernah terealisasi secara nyata. Padahal, mafia tanah telah menjadi momok yang menghantui masyarakat kecil, terutama dalam kasus-kasus penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
Salah satu contoh nyata dari ketidakberdayaan masyarakat kecil terhadap mafia tanah adalah kasus Sarudin dan kawan-kawan (Dkk) di Prabumulih. Mereka adalah pemilik tanah sah yang tanahnya digusur untuk pembangunan Jalan Tol Inderalaya-Prabumulih. Meski telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), hingga saat ini Sarudin Dkk belum menerima uang ganti rugi (UGR) yang telah dititipkan di pengadilan.
Kerja mafia tanah di Prabumulih diduga kuat melibatkan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) Prabumulih. Modus operandinya adalah menggugat pemilik tanah sah agar bersedia berbagi UGR dengan mafia. Dalam kasus ini, oknum BPN diduga memperlambat penerbitan surat rekomendasi untuk mengambil UGR, sehingga hak pemilik tanah terus tertahan. Setelah Sarudin Dkk menang dalam kasus ini hingga ke tingkat Mahkamah Agung, BPN Prabumulih justru berdalih ada gugatan baru yang menjadi alasan tidak menerbitkan surat pengantar untuk mengambil UGR.
Tidak berhenti di situ, mafia tanah kembali melancarkan gugatan baru untuk memperpanjang proses pengambilan UGR. Meski begitu, Sarudin Dkk tetap berjuang dan menang lagi dalam gugatan kedua. Namun, BPN Prabumulih tetap menolak menerbitkan surat rekomendasi dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini semakin menunjukkan betapa kuatnya keterlibatan oknum BPN dalam praktik mafia tanah.
Dalam konteks ini, Nusron Wahid menghadapi tantangan besar. Jika ia benar-benar serius memberantas mafia tanah, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan BPN dari oknum-oknum yang terlibat. Kasus Sarudin Dkk di Prabumulih bisa menjadi awal yang baik untuk membuktikan komitmennya. Jika Nusron berhasil membereskan kasus ini dan mengembalikan hak-hak masyarakat kecil yang terzalimi, maka langkahnya untuk memberantas mafia tanah akan menjadi nyata, bukan sekadar wacana atau pencitraan belaka.
Lebih dari itu, Nusron Wahid juga perlu menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang mengetahui seluk-beluk mafia tanah di Indonesia. Banyak pihak yang sudah berpengalaman menghadapi mafia tanah, seperti Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Supardi Kendi Budiardjo, yang tanahnya dirampas pengembang untuk dijadikan perumahan mewah. Dengan mengadu data alas hak kepemilikan awal, berbagai modus operandi mafia tanah bisa diungkap, dan para pelaku di baliknya bisa diseret ke meja hijau.
Jika Nusron Wahid mampu membongkar mafia tanah dalam 100 hari pertama masa jabatannya, ini akan menjadi prestasi luar biasa yang tidak hanya akan mengangkat namanya, tetapi juga menjadi insentif besar bagi kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Indonesia, sebagai negara besar dengan luas wilayah yang sangat besar, membutuhkan birokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi dalam pengelolaan agraria. Mafia tanah harus segera diberantas agar kedaulatan rakyat atas tanah bisa dijaga, dan hak-hak mereka tidak lagi dipermainkan oleh segelintir oknum.
Dengan demikian, mari kita tunggu gebrakan nyata dari Nusron Wahid, apakah ia mampu menjawab tantangan ini dan menjadi pahlawan pemberantas mafia tanah yang telah lama dinantikan masyarakat.
0 Komentar