Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Pada Ahad, 20 Oktober 2024, sebuah acara bertajuk 'OPERA JAWA' dengan tema 'ORASI PERGANTIAN RAJA JAWA' diadakan di Jakarta. Banyak tokoh penting hadir, dan salah satu topik diskusi yang hangat dibahas adalah tentang masa depan kepemimpinan Prabowo Subianto. Penulis, yang turut hadir dalam acara tersebut, mencatat adanya kekecewaan besar terkait komposisi calon menteri yang diusung oleh Prabowo.
Mayoritas tokoh yang hadir menyampaikan rasa kecewa, dengan mengatakan bahwa kabinet Prabowo yang direncanakan memiliki "cita rasa" kabinet Jokowi. Nama-nama yang muncul, menurut mereka, mewakili kepentingan politik Presiden Joko Widodo, dan bukan murni pilihan independen Prabowo. Beberapa tokoh bahkan berspekulasi bahwa ini hanyalah taktik sementara dari Prabowo. Mereka berharap dalam tiga hingga enam bulan setelah dilantik, Prabowo akan melakukan reshuffle besar-besaran untuk membersihkan kabinetnya dari pengaruh Jokowi. Namun, pernyataan ini pun diragukan oleh beberapa tokoh lainnya, yang menyebutnya sebagai kabar burung tanpa dasar yang kuat.
Janji Politik Prabowo: Sejarah yang Terulang
Penulis pun teringat akan kejadian pada tahun 2019, ketika Prabowo dengan tegas berjanji akan "timbul dan tenggelam bersama rakyat". Komitmen tersebut disampaikan secara terbuka kepada publik, dan bukan sekadar gosip politik. Namun, faktanya, janji itu dikhianati. Alih-alih beroposisi dan berdiri di sisi rakyat, Prabowo justru memilih untuk bergabung dengan kabinet Jokowi setelah sebuah pertemuan bersejarah di Teuku Umar. Meskipun pendukungnya mengharapkan Prabowo untuk menjadi kekuatan oposisi yang kuat, kenyataannya dia justru menerima posisi sebagai Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Jokowi.
Janji bahwa Prabowo hanya "berstrategi" saat menerima posisi tersebut juga pernah dikemukakan saat itu. Narasi bahwa Prabowo akan merebut kekuasaan saat terjadi kevakuman di pemerintah seringkali dipropagandakan oleh para pendukungnya. Namun, hingga akhir masa jabatan Jokowi, Prabowo tetap tunduk dan loyal pada Jokowi, tanpa ada tanda-tanda perlawanan atau pembangkangan, bahkan dalam isu-isu krusial seperti kasus KM 50 dan kriminalisasi HRS (Habib Rizieq Shihab).
Hari ini, ketika muncul narasi bahwa Prabowo akan melakukan reshuffle kabinet dan lepas dari pengaruh Jokowi, penulis merasakannya sebagai deja'vu dari peristiwa politik sebelumnya. Janji-janji tersebut terasa seperti pengulangan keadaan, yang pada akhirnya mungkin hanya akan berakhir sebagai gosip murahan yang menipu harapan publik.
Mengapa Prabowo Sulit Lepas dari Bayang-Bayang Jokowi?
Pertama, Prabowo seharusnya menjadi sosok yang paling marah terhadap kasus pelantikan Gibran sebagai Wakil Presiden, yang penulis sebut dengan istilah "fufufafa". Hal ini menyangkut harga diri Prabowo dan keluarganya, namun hingga saat ini Prabowo tidak menunjukkan langkah nyata untuk menentang pelantikan tersebut. Jika untuk menjaga martabat dirinya dan keluarganya saja Prabowo tidak berani, bagaimana bisa ia diharapkan menjaga marwah bangsa dan rakyat?
Analisis sederhana menunjukkan bahwa Prabowo lebih mencintai kekuasaan daripada harkat dan martabat. Setelah melalui tiga kali Pemilu, Prabowo sepertinya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menjadi Presiden, meskipun harus tunduk pada kehendak Jokowi dan "raja Jawa". Oleh karena itu, narasi reshuffle kabinet kemungkinan besar tidak lebih dari sekadar gosip politik.
Kedua, Prabowo hanyalah bagian kecil dari sistem sekuler yang menguasai negeri ini. Prabowo tidak hanya harus berurusan dengan Jokowi, tetapi juga dengan para elit politik dan pengusaha yang memiliki pengaruh besar dalam sistem ini. Contoh paling jelas adalah Sri Mulyani, yang dipandang sebagai sosok penting dalam menjaga stabilitas fiskal dengan menaikkan pajak dan utang. Dalam sistem kapitalisme sekuler, ini adalah jalan klasik untuk mengelola negara. Prabowo mungkin membutuhkan Sri Mulyani bukan karena pengaruh Jokowi, tetapi karena sistem ini tidak memberinya pilihan lain.
Berbeda halnya jika Prabowo menerapkan sistem Islam, yang mengandalkan sumber daya alam (SDA) sebagai sumber pendapatan utama negara. Dalam Islam, pajak dan utang bukanlah pilar utama pengelolaan negara. Namun, dengan SDA Indonesia yang saat ini dikuasai oleh para oligarki, terutama "9 naga", tampaknya Prabowo tidak akan berani mengambil alih kekayaan alam tersebut dari tangan mereka.
Ketiga, kekuatan intervensi asing, baik dari Amerika Serikat maupun China, membuat Indonesia tetap berada dalam cengkeraman kapitalisme global. Meski Prabowo menjadi Presiden, intervensi asing ini akan tetap sulit untuk dihindari, karena pengaruh mereka sudah terlalu dalam. Sistem sekuler yang diterapkan di Indonesia semakin memperkuat pengaruh kekuatan asing ini.
Penulis berharap analisis ini keliru, namun berdasarkan pengalaman dan dinamika politik yang terjadi, sangat sulit untuk mengabaikan kenyataan ini. Penulis bahkan menantang Prabowo untuk membuktikan bahwa analisis ini salah, dengan segera melepaskan diri dari pengaruh Jokowi dan oligarki. Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah memerintahkan penyelidikan terkait kasus ijazah palsu Jokowi.
Apakah Prabowo berani mengambil langkah ini? Kita tunggu buktinya.
Kesimpulan: Prabowo di Persimpangan Jalan
Prabowo Subianto kini berada di persimpangan jalan. Publik menanti apakah ia benar-benar akan menjadi pemimpin yang independen dan berani melawan pengaruh Jokowi, atau justru akan terus berada dalam bayang-bayang mantan Presiden tersebut. Sejarah mencatat, janji politik Prabowo sebelumnya telah banyak mengecewakan pendukungnya. Apakah kali ini akan berbeda, atau hanya pengulangan dari kisah yang sama?
Time will tell.
0 Komentar