Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Gugatan yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (Cawapres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa berujung pada pembatalan pelantikannya pada 20 Oktober 2024. Gugatan tersebut sedang dalam proses di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dan putusannya dijadwalkan akan diumumkan pada Kamis, 10 Oktober 2024, hanya sepuluh hari sebelum pelantikan.
Jika gugatan tersebut dikabulkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Tap MPR yang membatalkan pelantikan Gibran sebagai Cawapres, dan hanya melantik Prabowo Subianto sebagai presiden. Setelah itu, MPR diharapkan menggelar sidang istimewa untuk memilih dan menetapkan calon wakil presiden pengganti. Dalam skenario ini, nama Puan Maharani, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti Gibran.
Jika Puan terpilih sebagai wapres, maka ia harus meletakkan jabatannya sebagai Ketua DPR. Sebagai bagian dari kompromi politik, jabatan Ketua DPR dapat diserahkan kepada Partai Golkar, sebagai bentuk balasan atas dukungan mereka terhadap penetapan Puan sebagai wakil presiden.
Persoalan Usia Gibran dan Aturan KPU
Gibran Rakabuming Raka menghadapi tantangan hukum terkait usianya yang belum memenuhi syarat untuk menjadi cawapres. Berdasarkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, syarat minimal usia untuk calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) adalah 40 tahun. Namun, saat mendaftarkan diri pada 25 Oktober 2023, usia Gibran belum mencapai 40 tahun, menjadikannya tidak memenuhi syarat.
Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan putusan melalui sang paman, Anwar Usman, yang memungkinkan Gibran untuk tetap maju, masalah lain muncul karena pada saat pendaftaran, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 masih menetapkan batas usia minimum 40 tahun. KPU baru mengubah aturan tersebut pada 3 November 2023, setelah pendaftaran Gibran selesai. Hal ini menimbulkan dugaan cacat prosedur, di mana Gibran diterima sebagai cawapres sebelum aturan diubah.
Akibatnya, posisi Gibran sebagai cawapres dianggap cacat secara hukum, sehingga pelantikannya sebagai wapres pun tidak sah. Jika tetap dilantik, ini akan mencerminkan bahwa Indonesia telah menjadi alat kekuasaan keluarga Presiden Joko Widodo, bukan lagi negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan.
Tuntutan Masyarakat untuk Penolakan Gibran
Kritik keras terhadap pencalonan Gibran tidak hanya datang dari aspek hukum, tetapi juga dari moral dan etika. Banyak pihak menyerukan agar elemen masyarakat bersatu menolak pelantikan Gibran sebagai wapres. Mereka berpendapat bahwa seorang calon pemimpin harus memenuhi syarat usia dan memiliki integritas yang layak.
Jika Gibran tetap dilantik, banyak yang khawatir bahwa hal ini akan mencoreng martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Masyarakat merasa malu jika seorang pemimpin muda yang tidak memenuhi syarat hukum tetap diangkat ke jabatan tinggi, terutama dalam konteks dinasti politik yang melibatkan keluarganya.
Dengan segala permasalahan hukum dan moral yang ada, banyak pihak mendesak agar bangsa ini tidak mewariskan masalah ini kepada generasi mendatang. Mereka berharap, pelantikan Gibran sebagai wapres dibatalkan untuk menjaga harga diri bangsa dan menjunjung tinggi prinsip negara hukum yang berlaku di Indonesia.
0 Komentar