PENCITRAAN JOKOWI DI PENGHUJUNG KEKUASAAN JAUH DARI REALITANYA


Oleh: Rika DN
Pemerhati Perubahan

Menjelang masa pensiunnya pada 20 Oktober 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak seperti seorang raja yang tak ingin kehilangan mahkotanya. Upaya untuk memoles citra dirinya terlihat semakin masif. Media sosial, pidato menteri, dan berita yang memuji berbagai program serta kebijakan Jokowi memenuhi ruang publik, seolah menggambarkan kesuksesan tanpa cela.

Saat masa kepemimpinannya akan berakhir dan Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden yang baru, Jokowi berencana kembali ke kota asalnya, Solo. Penyambutan besar-besaran direncanakan untuknya dengan kehadiran sekitar 400.000 relawan. Di dekat rumah pensiunnya di Karanganyar, baliho besar yang menampilkan Jokowi dan istrinya dengan tulisan “Teruslah Menjadi Guru Bangsa” pun sudah dipasang.

Para menteri juga tak ketinggalan dalam kampanye ini. Dalam berbagai pidato dan wawancara, mereka berlomba-lomba memuji Jokowi. Menteri Keuangan Sri Mulyani, misalnya, memuji keberhasilan Jokowi dalam pengelolaan anggaran negara untuk pembangunan infrastruktur besar. Sementara itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebut Jokowi sebagai presiden terbaik karena mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 52 bulan berturut-turut.

Namun, pujian yang berlebihan ini justru memperlihatkan sisi lain dari kepemimpinan Jokowi. Memuji diri sendiri adalah tanda kurang percaya diri, terlebih jika narasi tersebut dibungkus dengan menggunakan anggaran negara. Pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dan surplus neraca perdagangan seharusnya menjadi kewajiban pemerintah tanpa perlu adanya glorifikasi.

Faktanya, selama masa pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,2%, jauh dari target 7% yang diharapkan. Bahkan, angka ini lebih rendah dibandingkan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang rata-rata mencapai 6%. Selain itu, jumlah kelas menengah Indonesia mengalami penurunan dari 21% menjadi 17% akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Neraca perdagangan yang surplus, seperti yang dibanggakan Zulkifli Hasan, hanya berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 0,66%. Proyek-proyek infrastruktur yang dibanggakan Jokowi justru meninggalkan beban utang yang besar, sementara beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bangkrut karena dipaksa menggarap proyek-proyek ambisius.

Proyek hilirisasi tambang dan mineral yang menjadi andalan Jokowi pun belum mencapai hasil yang diharapkan. Pembangunan smelter hanya menguntungkan Tiongkok sebagai pembeli terbesar produk-produk pemurnian mineral di Indonesia. Sayangnya, limpahan sumber daya alam tersebut tak berhasil mendorong terciptanya industri turunan yang memberikan nilai tambah besar.

Di tengah realitas tersebut, pemerintah justru sibuk memoles citra Jokowi menggunakan anggaran negara. Mereka menggiring opini publik untuk menutupi kemunduran demokrasi, stagnasi ekonomi, dan keterlibatan Jokowi dalam politik praktis melalui "cawe-cawe" (intervensi) dalam pemilu. Penggiringan opini semacam ini dianggap sebagai upaya pengelabuhan publik.

Setelah pensiun, Jokowi diprediksi akan tetap memelihara popularitasnya sebagai politikus yang tidak memimpin partai, tetapi mengandalkan kekuatan relawan untuk tetap relevan dalam percaturan politik nasional. Hal ini juga menjadi cara untuk mencegah penguasa baru mempertanyakan kebijakan-kebijakan kontroversialnya di masa lalu.

Langkah-langkah Jokowi menjelang akhir masa jabatannya mengingatkan kita pada mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Menjelang pemilihan presiden 2021, Trump mengganti Hakim Agung yang bisa menjadi penentu dalam perselisihan hasil pemilu. Ketika akhirnya kalah dari Joe Biden, Trump menolak mengakui kekalahannya dan bahkan tak hadir dalam pelantikan Biden.

Di sisi lain, Jokowi berkali-kali merombak kabinet menjelang akhir jabatannya. Ia diduga berusaha memengaruhi Prabowo Subianto untuk melanjutkan proyek-proyek besarnya yang belum selesai, melalui menteri kepercayaannya, Bahlil Lahadalia. Selain itu, Jokowi juga diduga mengambil kendali atas Partai Golkar dan ikut campur dalam seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Situasi saat ini sangat jauh dan berkebalikan dengan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Seorang pemimpin tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk menindas atau memperkaya diri, melainkan untuk menegakkan keadilan, melayani rakyat, dan menerapkan hukum-hukum Allah.

Islam menekankan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ï·» atas kepemimpinannya. Kekuasaan bukanlah hak mutlak, tetapi amanah yang akan diadili oleh Allah. Pemimpin yang adil akan mendapatkan kemuliaan, sementara pemimpin yang dzalim akan dihinakan.

Keadilan menjadi prinsip utama dalam pemerintahan Islam, yang mencakup pemerataan kesejahteraan, perlindungan hak-hak rakyat, dan pembangunan yang bermanfaat bagi semua.

Kepemimpinan bukan untuk mencari kehormatan duniawi, tetapi untuk menjalankan amanah yang sesuai dengan ketentuan Allah. Pemimpin harus selalu ingat bahwa kekuasaan yang mereka emban hanyalah titipan dari Allah dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana kekuasaan tersebut digunakan.

Posting Komentar

0 Komentar