MUNGKINKAH SUATU SAAT MK AKAN MENGABULKAN TUNTUNAN WARGA TAK BERAGAMA?


Oleh: Hamzah
Penulis Lepas

Baru-baru ini, pengajuan gugatan oleh warga Jakarta yang tidak beragama terhadap aturan di Indonesia memicu diskusi tentang pengakuan hak bagi mereka yang memilih untuk tidak menganut agama. Raymond Kamil, warga Cipayung, Jakarta Timur, mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang, mulai dari UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) hingga UU Hak Asasi Manusia (HAM). Tujuan uji materi ini adalah agar negara memberikan pengakuan kepada warga yang tidak beragama layaknya pengakuan atas enam agama resmi yang ada saat ini.


Respon dari Hakim Konstitusi

Pada persidangan yang berlangsung pada 21 Oktober 2024, salah satu hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, mempertanyakan hak konstitusional yang dianggap dirugikan oleh pemohon. “Bagaimana ruang itu bisa diberikan oleh MK kalau Anda tidak kemudian bisa menjelaskan? Pertama adalah menyangkut apa sih sebetulnya kerugian hak konstitusional yang diberikan oleh undang-undang dasar,” ujar Enny dalam persidangan.

Namun, Direktur Siyasah Institute, Iwan Januar, mengkhawatirkan bahwa upaya Raymond ini dapat menjadi 'bola salju' yang semakin besar. Ia mengingatkan bahwa sudah ada desakan dari kalangan tertentu agar negara mengakui hak tidak beragama atau agnostik dan ateis. “Sudah ada desakan dari sejumlah kalangan agar negara mengakui hak warga negara untuk tidak beragama/agnostik ataupun tidak bertuhan (ateis),” ungkap Iwan pada media umat.


Konteks Demokrasi dan Kebebasan Beragama

Iwan juga mengungkapkan pandangannya tentang sistem demokrasi mutlak yang semakin berkembang di Indonesia. Dalam demokrasi liberal, hak individu diakui secara luas, termasuk hak untuk tidak beragama. Hal ini, menurut Iwan, menjadi kelemahan dalam demokrasi karena dapat melunturkan prinsip-prinsip dasar yang seharusnya dijaga dalam kehidupan beragama. “Itulah rusaknya sistem demokrasi,” tandasnya.


Pandangan Islam Tentang Pilihan Tidak Beragama

Islam sendiri memandang kebebasan agama dengan prinsip yang berbeda. Menurut Iwan, Islam tidak memaksa non-Muslim untuk memeluk Islam dan membiarkan mereka berpegang pada keyakinan masing-masing. Namun, terdapat aturan yang tegas bagi Muslim yang memilih untuk keluar dari agama Islam, yang sesuai syariat harus mendapatkan sanksi tertentu. “Untuk mereka ada ancaman sanksi berat (yaitu) hukuman mati,” tegasnya. Hal ini, menurutnya, bertujuan untuk melindungi akidah dan menjaga umat dari pengaruh kemurtadan.


Penutup

Di tengah tantangan yang terus berkembang dalam masyarakat plural seperti Indonesia, isu tentang pengakuan hak bagi warga tak beragama akan selalu menjadi topik yang kompleks. Perbedaan sistem hukum demokrasi dan Islam ini memberikan pandangan yang kontras tentang bagaimana kebebasan beragama. Bagi sebagian kalangan, termasuk yang diajukan Raymond, pengakuan ini adalah bagian dari hak asasi manusia, namun bagi yang lain, terutama dalam perspektif Islam, pengakuan tersebut berpotensi menimbulkan persoalan akidah.

Posting Komentar

0 Komentar