Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
"Jangan menggunakan upaya hukum yang disediakan oleh konstitusi secara semena-mena hanya untuk sekadar mencari sensasi atau tujuan provokasi," ungkap Dini Purwono, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, 1 Oktober 2024.
Pernyataan ini dilontarkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, sebagai respons atas gugatan hukum yang diajukan oleh Habib Rizieq, Mayjen TNI (Purn) Soenarko, dan sejumlah tokoh lainnya. Gugatan ini berisi tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan kebohongan sejak tahun 2012 hingga 2024. Pernyataan Dini seolah-olah menempatkan proses hukum ini sebagai sarana mencari sensasi dan provokasi, bukan sebagai langkah mencari keadilan.
Namun, langkah hukum yang dilakukan oleh para tokoh tersebut seharusnya diapresiasi, bukan dipersoalkan. Konstitusi dan sistem hukum kita telah menyediakan lembaga pengadilan sebagai sarana menyelesaikan sengketa, termasuk antara rakyat dan penguasa. Pengadilan menjadi institusi netral yang bisa menengahi persoalan, mencegah rakyat bertindak di luar jalur hukum dan main hakim sendiri.
Menggunakan Hukum, Bukan Main Hakim Sendiri
Jika upaya hukum yang diambil oleh Rizieq dan Soenarko dipandang sebagai tindakan yang tidak pantas, maka alternatif apa yang disarankan? Apakah rakyat harus bertindak sendiri tanpa melalui jalur pengadilan? Apakah diminta untuk melakukan tindakan ekstrem seperti menangkap dan menghakimi Jokowi tanpa proses hukum? Tentu hal ini tidak bisa diterima dalam negara hukum yang demokratis. Menyelesaikan masalah melalui pengadilan adalah langkah yang sah dan diatur oleh konstitusi, dan mengabaikan hal ini justru akan merusak tatanan hukum yang ada.
Langkah yang diambil oleh Rizieq, Soenarko, dan pihak lainnya hanyalah bentuk usaha untuk mencari keadilan melalui jalur yang benar. Mereka tidak main hakim sendiri, tetapi menggunakan hak mereka sebagai warga negara yang dijamin oleh undang-undang. Bahkan, gugatan mereka telah diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 611/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst.
Pengadilan: Tempat Mencari Keadilan, Bukan Sensasi
Pernyataan Dini Purwono yang menuding bahwa pengadilan digunakan untuk mencari sensasi justru menimbulkan pertanyaan besar. Bukankah pengadilan adalah tempat bagi rakyat untuk mencari keadilan? Seolah-olah, melalui pernyataan ini, Dini menuduh bahwa pengadilan bukan tempat yang layak untuk menyelesaikan sengketa. Jika demikian, apa fungsi pengadilan di republik ini?
Ironisnya, tuduhan bahwa pengadilan digunakan untuk mencari sensasi seharusnya lebih relevan jika ditujukan kepada Jokowi sendiri. Berbagai aksi blusukan Jokowi, seperti masuk gorong-gorong dan kunjungan ke petani, sering kali dipandang sebagai pencitraan belaka, sementara masalah substansial seperti kemiskinan petani dan kebijakan impor tetap berlanjut. Tidak hanya itu, berbagai kebijakan Jokowi yang justru menambah beban rakyat seperti kenaikan pajak, BBM, tarif listrik, hingga utang negara yang membengkak, memperlihatkan sifat kekuasaannya yang jauh dari kepentingan rakyat.
Daftar Kebohongan yang Tak Terbantahkan
Materi gugatan yang diajukan oleh Rizieq, Soenarko, dan pihak lainnya merinci enam kebohongan besar yang dituduhkan kepada Jokowi, yang meliputi:
1. Janji untuk menjabat Gubernur DKI selama satu periode penuh
Jokowi berjanji tidak akan menjadi 'kutu loncat' dari jabatan Gubernur DKI, tetapi kenyataannya ia maju dalam Pilpres sebelum masa jabatannya berakhir.
2. Mobil ESEMKA
Jokowi mengklaim adanya pesanan 6.000 unit mobil ESEMKA, namun hingga kini tak ada realisasi dari janji tersebut.
3. Penolakan terhadap utang luar negeri
Jokowi pernah berjanji untuk tidak melakukan pinjaman luar negeri, tetapi utang negara justru semakin menumpuk.
4. Swasembada pangan
Janji untuk mencapai swasembada pangan ternyata tak terwujud, bahkan impor pangan tetap dilakukan.
5. Penggunaan APBN untuk proyek Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC)
Jokowi pernah mengatakan bahwa proyek KCIC tidak akan menggunakan dana APBN, tetapi realitanya sebagian dana berasal dari APBN.
6. Uang Rp 11.000 triliun di kantong Jokowi
Klaim Jokowi tentang adanya uang Rp 11.000 triliun yang dapat digunakan untuk pembangunan terbukti tidak berdasar.
Enam poin ini merupakan inti dari gugatan yang diajukan, dimana kebohongan-kebohongan tersebut dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Kesimpulan
Dalam negara hukum yang demokratis, langkah rakyat untuk mencari keadilan melalui jalur pengadilan harus dihargai. Tudingan bahwa upaya hukum ini hanya untuk mencari sensasi atau provokasi adalah bentuk pembelokan fokus dari substansi permasalahan. Jika memang pemerintah yakin bahwa tuduhan tersebut tidak benar, maka yang seharusnya dilakukan adalah membantah dengan bukti dan argumentasi, bukan dengan meremehkan proses hukum yang dijalankan.
Pada akhirnya, pengadilan adalah tempat untuk menyelesaikan sengketa dengan adil dan transparan. Mengabaikan atau merendahkan fungsi pengadilan hanya akan merusak fondasi kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum di negeri ini.
0 Komentar