MARAKNYA KONTEN SENSUAL DI MEDIA SOSIAL DAN DAMPAKNYA PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA


Oleh: Diaz
Aktivis Dakwah

Di era digital seperti saat ini, konten sensual dan pornografi semakin mudah diakses oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak dan remaja. Platform media sosial seperti TikTok dan Twitter yang berubah nama menjadi X dipenuhi oleh konten-konten yang menampilkan unsur sensual secara terbuka, sering kali tanpa filter yang memadai. Fenomena ini memicu kekhawatiran banyak pihak, terutama orang tua dan lembaga yang peduli pada perkembangan moral generasi muda.

Salah satu contoh nyata adalah bagaimana konten sensual di TikTok mendapatkan perhatian besar. Konten kreator yang menampilkan unsur sensual sering kali mendapatkan ribuan bahkan jutaan penonton. Ironisnya, banyak dari mereka yang awalnya berpenampilan tertutup dan berhijab, namun setelah populer justru beralih ke gaya yang lebih terbuka. Tidak hanya itu, layanan seperti open booking (BO) atau video call seks (VCS) juga mulai menjadi tren di platform lain, seperti X.

Statistik dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkapkan bahwa 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan telah terpapar pornografi melalui media online. Survei Kementerian Kesehatan pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 94% siswa pernah mengakses konten pornografi, sebagian besar melalui media sosial dan internet. Hal ini menegaskan betapa mudahnya akses terhadap konten pornografi di dunia maya.

Konten sensual di media sosial semakin berkembang, terutama dengan munculnya platform seperti TikTok yang mempopulerkan tren berjoget dengan pakaian terbuka. Tidak sedikit anak-anak yang turut membuat konten sensual, sehingga mengakibatkan penyebaran perilaku yang tidak sesuai usia mereka. Sayangnya, kebanyakan penonton konten semacam ini bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja yang mudah terpengaruh.


Mengapa Konten Sensual Mudah Viral?

Ada beberapa alasan mengapa konten sensual begitu mudah viral. Pertama, manusia secara alami tertarik pada hal-hal yang memicu respon visual, termasuk sensualitas. Konten sensual memberikan efek dopamin, hormon kebahagiaan, yang membuat penonton merasa puas secara instan. Kedua, ada fenomena fear of missing out (FOMO) atau ketakutan ketinggalan tren, yang mendorong orang untuk ikut menonton atau bahkan membuat konten serupa.

Tidak bisa dipungkiri, popularitas konten sensual didorong oleh algoritma platform media sosial yang memprioritaskan konten dengan interaksi tinggi. Konten yang menampilkan elemen sensual cenderung menarik perhatian lebih banyak orang, sehingga lebih sering direkomendasikan dan menjadi viral.

Selain itu, dalam masyarakat patriarki, tubuh perempuan sering kali dipandang sebagai objek. Banyak kreator perempuan yang memanfaatkan tubuh mereka untuk mendapatkan popularitas, meskipun mereka sendiri merasa mengambil alih kontrol atas citra diri mereka. Namun, ini bisa menjadi pedang bermata dua karena meskipun mereka mendapatkan ketenaran, mereka juga terjebak dalam ekspektasi sosial yang mengharuskan mereka terus menampilkan konten yang lebih provokatif.


Dampak Sosial dan Psikologis

Maraknya konten sensual di media sosial tidak hanya berdampak pada pelaku atau kreator, tetapi juga pada penonton, terutama anak-anak. Banyak anak yang belum matang secara emosional terjerumus dalam konten semacam ini, yang kemudian memicu perilaku seksual yang tidak sehat. Mereka bisa menjadi pelaku pelecehan seksual, baik di dunia maya melalui komentar-komentar tidak pantas, maupun di dunia nyata dengan tindakan yang lebih berbahaya.

Fenomena ini juga menunjukkan lemahnya kontrol sosial dalam sistem kapitalis yang mendominasi saat ini. Sistem ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan moral generasi muda. Konten sensual dipasarkan secara masif dan dianggap sebagai strategi untuk meningkatkan interaksi dan pendapatan, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis yang diakibatkannya.


Solusi Islam Terhadap Pornografi

Islam memandang pornografi dan konten sensual sebagai kemaksiatan besar yang harus dihapuskan. Dalam pandangan Islam, ada tiga pilar utama untuk mengatasi masalah ini:

1. Pembinaan Individu: Pembentukan kepribadian yang islami melalui pendidikan dan pembinaan keimanan agar individu memiliki ketakwaan yang kuat.

2. Kontrol Sosial oleh Masyarakat: Peran tokoh-tokoh masyarakat dan ulama sangat penting dalam mengontrol dan memantau perilaku sosial yang merusak moral masyarakat.

3. Peran Negara: Negara bertanggung jawab untuk menegakkan hukum-hukum Allah dan melindungi masyarakat dari pengaruh buruk pornografi. Negara harus proaktif dalam mencegah dan memberantas bisnis konten pornografi.

Sistem Islam menawarkan solusi yang holistik dengan menegakkan aturan yang mencegah penyebaran konten sensual dan pornografi. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, lingkungan sosial yang sehat dan bermoral dapat terwujud, serta generasi muda dapat tumbuh dengan akhlak yang baik tanpa terjerumus dalam budaya hedonis dan pornografi.


Kesimpulan

Fenomena konten sensual yang semakin marak di media sosial merupakan cerminan dari kompleksitas dinamika sosial, psikologis, dan ekonomi dalam masyarakat modern. Meskipun konten semacam ini memberikan keuntungan bagi beberapa pihak, dampaknya pada moral dan psikologi generasi muda sangat mengkhawatirkan.

Sebagai umat Islam, kita perlu lebih kritis dalam menggunakan media sosial dan menyaring konten yang kita konsumsi, serta mendukung upaya untuk menerapkan sistem yang lebih baik dan mendidik, seperti yang ditawarkan oleh Islam melalui syariatnya dan dengan sistem pemerintahannya yaitu Khilafah.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar