KISRUH PENCALONAN GIBRAN SEBAGAI CAWAPRES: KONTROVERSI, KUALIFIKASI, DAN INTERVENSI


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terus menuai sorotan. Gibran, yang juga merupakan anak dari Presiden Joko Widodo, belakangan menjadi sorotan setelah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengungkap informasi yang dikutip oleh Tempo dan Roy Suryo bahwa sosok di balik akun anonim "FUFUFAFA" yang kerap menyerang tokoh-tokoh politik seperti Prabowo Subianto, Syahrini, dan anak Prabowo, diduga adalah Gibran sendiri.

Selain itu, Gibran juga dinilai tidak memenuhi syarat untuk maju sebagai Wakil Presiden berdasarkan Pasal 169 huruf e Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut mengatur bahwa calon Wakil Presiden harus mampu secara rohani dan jasmani serta bebas dari penyalahgunaan narkotika. Dugaan bahwa Gibran tidak memenuhi kriteria ini diperkuat dengan laporan terkait kondisi fisiknya yang dipertanyakan oleh Dr. Tifa, yang mengulas masalah kesehatan mental dan fisik Gibran.

Selain itu, Gibran sebelumnya juga tidak memenuhi persyaratan usia minimum 40 tahun untuk menjadi Wakil Presiden sesuai Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh Anwar Usman, paman dari Gibran, mengubah aturan tersebut sehingga jabatan Gibran sebagai Wali Kota Solo bisa dijadikan dasar pencalonannya.

Namun, kisruh tak berhenti di situ. Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga saat ini belum memperbarui peraturan komisi (PKPU) yang memungkinkan pencalonan Gibran. Langkah KPU ini digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dan sidang yang dijadwalkan pada 10 Oktober 2024 diundur hingga 24 Oktober 2024. Penundaan ini menimbulkan dugaan intervensi dari Presiden Joko Widodo, yang dianggap berupaya mengamankan jalur bagi pelantikan Gibran pada 20 Oktober 2024.

Kritik semakin tajam ketika para elit politik dan partai-partai besar, termasuk PDIP, PKS, PAN, PKB, Golkar, NasDem, Demokrat, hingga Gerindra, dinilai lebih mementingkan kekuasaan dibandingkan kepentingan rakyat. Partai yang mengklaim diri sebagai partai Islam pun disebut ikut larut dalam pusaran kekuasaan tanpa mempedulikan rakyat kecil.

Sementara itu, umat Islam di Indonesia didorong untuk tidak lagi menjadi "tumbal" dari demokrasi yang melayani kepentingan elit politik dan oligarki. Demokrasi, yang dianggap telah menipu rakyat untuk melayani syahwat politik para penguasa, dianggap gagal memberikan solusi bagi kesejahteraan bangsa.

Dalam narasi yang lebih luas, umat Islam harusnya lebih berusaha untuk memperjuangkan syariah dan Khilafah sebagai alternatif dari sistem demokrasi yang dianggap rusak. Khilafah, yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad ï·º akan kembali tegak, dinilai sebagai solusi untuk membawa Indonesia menuju keberkahan dan kemuliaan dengan menegakkan hukum Allah ï·».

Sebagai penutup, marilah berjuang agar Indonesia menjadi negara yang pertama kali mengembalikan Khilafah kepada umat Islam di Indonesia dengan menunaikan bai’at kepada Khalifah dan menegakkan syariat Islam serta Sunnah Rasulullah ï·º. Jika kesempatan ini dilewatkan, bangsa lain bisa saja mengambil alih kesempatan untuk meraih kemuliaan yang telah lama dinantikan oleh umat Islam.

Posting Komentar

0 Komentar