Oleh: Rika Dwi Ningsih
Pemerhati Sejarah
Sultan Abdulhamid II memikul tanggung jawab besar di tengah masa-masa terburuk Kesultanan Ottoman. Selama tiga puluh tiga tahun masa pemerintahannya, beliau berdiri teguh menghadapi berbagai kesulitan, sambil memegang panji Islam tanpa pernah goyah. Dalam berbagai upaya untuk mempertahankan kedaulatan umat Islam, beliau juga harus menghadapi tekanan dari kekuatan imperialis dan gerakan Zionis yang semakin kuat.
Pada akhir tahun 1890-an, lobi Yahudi dan Zionisme mulai mencari cara untuk menguasai Palestina. Gagasan ini lahir dari diskriminasi yang dialami orang Yahudi di Eropa, dan menjadi salah satu tujuan utama mereka. Pemimpin Zionis, Theodor Herzl, mencoba mendapatkan Palestina dengan menawarkan untuk membayar utang luar negeri Ottoman yang mencapai 20 juta pound sebagai imbalan. Mereka berharap diizinkan bermigrasi dan membangun tanah air di Palestina.
Namun, Sultan Abdulhamid menolak tawaran tersebut dengan tegas. Ia mengatakan, "Aku tidak bisa menjual satu inci pun tanah, karena tanah itu bukan milikku, tapi milik rakyatku. Mereka telah menyuburkan tanah ini dengan darah mereka, dan kami akan mempertahankannya dengan darah kami kembali sebelum menyerahkannya." Jawaban ini tentu saja mengecewakan Herzl dan Zionis lainnya.
Teguh Melawan Tekanan Zionis
Tidak hanya Herzl yang mencoba melobi Sultan. Emanuel Karasu, seorang anggota parlemen Yahudi dari Thessaloniki, juga mencoba membeli tanah di Palestina untuk orang Yahudi. Namun, Sultan Abdulhamid kembali memberikan penolakan tegas. Dalam salah satu catatan sejarah, Sultan bahkan menyuruh Karasu pergi dengan kata-kata tajam: "Pergi, celaka!"
Penolakan Sultan Abdulhamid terhadap Zionisme dan kolonialisme adalah bukti dari kebijakannya yang tidak ingin membuka jalan bagi imperialisme di tanah umat Islam. Beliau sadar bahwa gerakan ini hanya akan menjerumuskan Kesultanan Ottoman ke dalam jurang kehancuran.
Kekhawatiran Sultan yang Terbukti
Kekhawatiran Sultan Abdulhamid tentang disintegrasi Ottoman terbukti. Dalam memoar Kolonel Hüsamettin Ertürk, Sultan pernah berkata, "Jika kaum Unionis berperang dengan Rusia dan Inggris atas nama Turanisme, kita akan menyaksikan kehancuran Kesultanan Utsmaniyah." Hal ini terjadi ketika Enver Pasha melibatkan Ottoman dalam Perang Dunia I. Setelah perang pecah, Sultan dengan sedih berkata, "Tidak ada keraguan bahwa perang besar akan pecah suatu hari nanti. Tapi keterlibatan kami dalam masalah ini adalah ketidaktahuan dan kecerobohan besar."
Sultan Abdulhamid melihat dengan jelas bahwa langkah menuju perang tersebut akan berujung pada kehancuran Kesultanan Ottoman. "Semoga Tuhan mengutuk mereka yang membawa negara ke negara ini!" kata Sultan Abdulhamid dengan penuh penyesalan.
Sultan yang Taat Beragama dan Bijaksana
Sultan Abdulhamid II dikenal sebagai pemimpin yang sangat berhati-hati dan taat pada ajaran Islam. Salah satu kisah yang menarik adalah kebiasaannya untuk tidak menandatangani satu pun dokumen negara tanpa terlebih dahulu berwudhu. Es’ad Bey, Sekretaris Utama Dewan, menceritakan bahwa suatu malam Sultan tidak langsung membuka pintu meski diketuk tiga kali. Ternyata, Sultan sedang berwudhu sebelum menandatangani dokumen penting, karena ia ingin memastikan setiap keputusan dibuat dalam keadaan suci.
Istri Sultan Abdulhamid juga menceritakan bagaimana beliau selalu menyimpan batu bata bersih di samping tempat tidurnya. Batu bata tersebut digunakan untuk tayamum agar beliau tidak menginjak tanah tanpa wudhu hingga mencapai tempat air mancur. Kesalehan ini didorong oleh tanggung jawabnya sebagai Khalifah untuk menjaga umat dan menerapkan standar tinggi dalam menjalankan Sunnah Nabi.
Akhir Pemerintahan yang Pahit
Pada tahun 1909, peristiwa yang dikenal sebagai “Insiden 31 Maret” mengguncang pemerintahan Abdulhamid. Setelah peristiwa itu, Tentara Aksi datang ke Istanbul dan memaksa Parlemen mengeluarkan keputusan untuk mencopot Sultan dari jabatannya. Dalam kesedihan, Sultan Abdulhamid berkata, "Saya telah bekerja selama tiga puluh tiga tahun untuk bangsa dan negara saya, untuk kesejahteraan mereka. Hakim saya adalah Allah, dan Rasulullah akan menilai saya."
Setelah dipaksa turun dari tahta, Sultan Abdulhamid menghabiskan hari-hari terakhirnya di pengasingan di Istana Beylerbeyi, Istanbul. Meski demikian, beliau tetap menunjukkan martabat dan keteguhan. Saat mendengar Inggris dan Prancis menyerang Çanakkale, Sultan menolak untuk meninggalkan Istanbul. Beliau berkata, "Jika Dinasti Ottoman meninggalkan Istanbul, mereka tidak akan pernah kembali."
Penutup
Sultan Abdulhamid II adalah simbol kebijaksanaan, kesalehan, dan keteguhan dalam menghadapi tekanan dari dalam maupun luar. Meskipun masa pemerintahannya penuh dengan tantangan, beliau tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk mempertahankan kehormatan Kesultanan Ottoman dan melindungi tanah umat Islam. Hingga akhir hayatnya, Sultan Abdulhamid terus mendoakan umatnya dan mengutuk mereka yang membawa Kesultanan menuju kehancuran.
Kisahnya mengajarkan pentingnya keteguhan, kesabaran, dan iman dalam menghadapi tantangan zaman. Sultan Abdulhamid II akan selalu dikenang sebagai pemimpin yang setia kepada umat dan agamanya.
0 Komentar