KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM: MEMILIH PEMIMPIN YANG MENEGAKKAN SYARIAH


Oleh: Darul Al-Fatih
Penggiat Politik dan Aktivis Dakwah

Kepemimpinan dalam Islam memiliki hakekat yang sangat jelas, yaitu untuk menegakkan hukum Allah ﷻ. Karena itu, Islam menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin, terutama dalam konteks Khilafah. Syarat-syarat ini tidak sekadar bersifat formal, tetapi berkaitan erat dengan tanggung jawab besar untuk menegakkan syariah Islam di tengah umat.

Islam menetapkan tujuh syarat dasar bagi seorang Khalifah, yaitu:
1. Muslim;
2. Laki-laki;
3. Baligh (dewasa);
4. Merdeka;
5. Berakal;
6. Adil;
7. Memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas kepemimpinan dalam Khilafah.

Syarat-syarat ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat tertentu yang menjadikannya layak memimpin umat. Pemimpin dalam Islam tidak sekadar dipilih untuk memerintah, tetapi untuk menjalankan amanah besar, yakni menegakkan syariah dan menjaga keberlangsungan kehidupan Islami.


Syarat Subjektif dan Objektif dalam Kepemimpinan Islam

Selain syarat-syarat subjektif terkait sifat dan kualifikasi pribadi, ada juga syarat objektif dalam kepemimpinan Islam. Tujuan utama seorang pemimpin dipilih adalah untuk menegakkan Islam, bukan hukum sekuler yang bertentangan dengan ajaran Allah. Karena itu, dalam konteks Pilpres, Pemilu, atau Pilkada, umat Islam harus memilih pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut. Haram hukumnya bagi umat Islam memilih pemimpin yang tidak berkomitmen untuk menegakkan syariah Islam.

Jika calon pemimpin itu bukan Muslim, seperti kasus Dharma Pongruken di Pilkada Jakarta, umat Islam haram memilihnya. Demikian pula, jika calon pemimpin adalah wanita, seperti Khofifah di Jawa Timur, umat Islam juga dilarang memilihnya karena tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan Islam.

Lebih jauh lagi, jika seorang calon pemimpin tidak berkomitmen menerapkan syariah Islam, meskipun ia Muslim, maka umat Islam juga dilarang memilihnya. Hal ini berlaku dalam konteks demokrasi di Indonesia, di mana para calon pemimpin, baik dari partai sekuler maupun partai yang mengklaim Islami, pada akhirnya menerapkan hukum sekuler dan mengabaikan syariah. Memilih mereka sama saja dengan mendukung sistem yang menolak hukum Allah.


Jangan Berkompromi dengan Standar Islam

Islam telah menetapkan standar yang jelas dalam memilih pemimpin. Standar ini tidak boleh diubah-ubah hanya karena pragmatisme atau demi keuntungan jangka pendek. Misalnya, dengan berargumen bahwa jika tidak ada calon yang sesuai dengan kriteria Islam, maka kita boleh memilih yang "terbaik dari yang buruk". Ini adalah bentuk pelecehan terhadap prinsip Islam.

Kaum Muslim harus tegas dalam menolak pemimpin yang tidak memenuhi syarat syariah. Jika tidak ada calon yang layak, maka lebih baik tidak memilih sama sekali. Menghindari pemilihan adalah sikap yang lebih selamat daripada memilih pemimpin yang hanya akan menegakkan sistem sekuler yang bertentangan dengan Islam.


Golput: Sikap yang Lebih Baik dalam Sistem Demokrasi

Sebagian orang mungkin berdalih bahwa aturan ini hanya berlaku dalam pemilihan Khalifah, bukan dalam Pilkada atau Pilpres. Namun, justru karena Pilkada dan Pilpres tidak ada kaitannya dengan sistem Islam, maka umat Islam tidak perlu terlibat dalam proses tersebut. Golput (tidak memilih) adalah sikap yang lebih baik, daripada ikut terlibat dalam memilih pemimpin yang pada akhirnya hanya akan menegakkan sistem demokrasi yang sekuler dan zalim.

Energi umat seharusnya difokuskan pada upaya menegakkan Khilafah, bukan pada sekadar memilih dalam Pemilu yang hasilnya sama saja: sekulerisme tetap dipertahankan, dan Islam terus dipinggirkan. Pemilu dalam sistem demokrasi hanya akan menghasilkan pemimpin yang menerapkan hukum manusia, bukan hukum Allah.


Mengapa Golput Lebih Baik?

Ada yang mungkin berargumen, "Jika kita tidak memilih, kekuasaan akan dikuasai orang kafir. Bagaimana nasib umat Islam?" Jawabannya sederhana: Saat ini, meskipun banyak pemimpin yang beragama Islam, mereka tetap mengabaikan hukum Allah dan menerapkan sekulerisme. Lihatlah para pejabat dari berbagai partai, baik Golkar, PDIP, Gerindra, Nasdem, bahkan hingga PKS, PKB, dan PAN. Mereka mayoritas Muslim, namun mereka semua mengabaikan syariah dan justru mendukung hukum sekuler.

Dengan demikian, masalahnya bukan hanya pada siapa yang menjadi pemimpin, tetapi juga pada sistem yang diterapkan. Selama sistem demokrasi tetap digunakan, sekulerisme akan terus menjadi landasan hukum, dan itu jelas bertentangan dengan ajaran Islam.


Solusi: Menegakkan Khilafah, Bukan Memilih dalam Demokrasi

Kesimpulannya, jika umat Islam ingin melihat keadilan dan kebenaran tegak, maka solusi satu-satunya adalah dengan menegakkan syariah dalam naungan Khilafah. Demokrasi, dengan seluruh sistem dan prosedurnya, tidak akan pernah memberikan ruang bagi syariah untuk ditegakkan. Karena itu, fokus umat harus diarahkan pada perjuangan untuk mewujudkan sistem Islam yang sejati, bukan terjebak dalam siklus pemilu demokratis yang pada akhirnya hanya melanggengkan sekulerisme.

Jangan biarkan pilihan kita dalam demokrasi menjadi beban di akhirat nanti. Pilihan terbaik adalah memilih jalan yang ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu dengan menegakkan syariah melalui sistem Khilafah.

Posting Komentar

0 Komentar