KEKHAWATIRAN JOKOWI JELANG AKHIR KEKUASAAN: ANTARA NASIB GIBRAN DAN DINASTI POLITIKNYA


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Jelang berakhirnya masa jabatan pada 20 Oktober 2024, suasana kebatinan Joko Widodo (Jokowi) dipenuhi dengan rasa cemas, galau, dan ketakutan yang mendalam. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, mengingat berbagai ancaman dan ketidakpastian yang mengintai dirinya, keluarganya, dan dinasti politik yang telah ia bangun.


Kecemasan Jokowi: Prabowo dan Legacy yang Tak Pasti

Jokowi cemas karena tak ada jaminan bahwa Prabowo Subianto, Presiden terpilih yang juga Menteri Pertahanan, akan sepenuhnya melanjutkan warisan politiknya. Meski Jokowi telah berusaha mendekati Prabowo melalui pertemuan pribadi seperti yang terjadi pada Selasa (8/10) di Hutan Kota Plataran, Jakarta, hasilnya belum memuaskan. Makan malam yang berlangsung hampir dua jam itu seolah menjadi ajang bagi Jokowi untuk "orientasi" Prabowo tentang kepentingannya.

Namun, pasca pertemuan tersebut, Prabowo tampak berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi. Dalam pidatonya di acara Rakornas Legislatif PKB di Jakarta, Kamis (10/10), Prabowo melontarkan kritik tajam terhadap segelintir orang yang gemar mencaci maki dan mencari masalah, seolah menyindir Jokowi dan lingkaran politiknya. Pernyataan itu juga dianggap sebagai isyarat bahwa Prabowo tidak akan sepenuhnya tunduk pada Jokowi.


Nasib Gibran: Terancam di Bawah Bayang-Bayang Kasus Fufufafa

Di sisi lain, Jokowi galau memikirkan nasib putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang terancam oleh dua tuntutan besar: pembatalan pelantikan atau pemakzulan pasca menjabat. Kasus "fufufafa" yang membelit Gibran menambah tekanan bagi Jokowi, apalagi Prabowo dalam narasinya seakan meminta dukungan publik untuk mengeksekusi kasus tersebut. Ini menjadi sinyal kuat bagi Jokowi bahwa jika ia terlalu banyak mengintervensi Prabowo, nasib Gibran bisa berakhir tragis.

Bagi Jokowi, mempertahankan Gibran di panggung politik adalah misi penting untuk melanggengkan dinasti politik keluarganya. Namun, dengan semakin banyaknya sorotan publik terhadap Gibran dan tuntutan rakyat yang menginginkan transparansi dan keadilan, posisinya semakin rapuh.


Jokowi Berusaha Mencengkeram Prabowo: Pertemuan di Solo

Tak puas dengan pertemuan di Jakarta, Jokowi kembali memanggil Prabowo pada Minggu (13/10) di kediaman pribadinya di Solo, Jawa Tengah. Langkah ini mencerminkan kegelisahan Jokowi yang semakin mendalam. Ia merasa perlu kembali mencengkeram Prabowo, berharap bisa mengamankan nasib Gibran, dirinya sendiri, dan dinasti politik yang telah ia bangun.

Namun, segala upaya Jokowi tampaknya sia-sia. Prabowo, yang selama ini berada dalam lingkaran kekuasaan Jokowi, kini telah menyiapkan dirinya untuk menjadi pemimpin tanpa harus terikat dengan warisan politik Jokowi. Prabowo ingin berdiri sebagai "matahari" baru, yang bersinar dengan sendirinya, tanpa bayang-bayang dari sinar bintang lainnya.


Akhir Kekuasaan Jokowi: Menghadapi Tuntutan Rakyat

Kini, saat akhir kekuasaannya semakin dekat, Jokowi harus bersiap menghadapi berbagai tuntutan rakyat. Tidak hanya terkait nasib Gibran, tetapi juga terhadap seluruh kebijakan, keputusan, serta tindakan kontroversial yang ia ambil selama menjabat. Tuntutan atas kebohongan, kezaliman, dan ketidakadilan yang dirasakan rakyat selama era kepemimpinannya akan menjadi ujian besar bagi Jokowi setelah ia lengser.

Seperti ayam yang disembelih, Jokowi terlihat berlari ke sana kemari, mencoba mencari perlindungan dan jawaban atas kegelisahan yang menguasai dirinya. Namun, semakin ia berusaha, semakin jelas bahwa kekuasaannya akan segera berakhir. Pada tanggal 20 Oktober 2024, masa jabatannya akan mencapai titik akhir, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan itu.


Kesimpulan

Masa kekuasaan Jokowi mendekati akhir, dan bayang-bayang ketidakpastian terus mengintai dirinya. Kecemasan terhadap kelanjutan legacy politiknya dan nasib Gibran semakin menghantui. Meski berbagai upaya dilakukan untuk menjaga pengaruhnya, Jokowi tampaknya harus menerima kenyataan bahwa eranya akan segera berakhir, sementara tuntutan rakyat untuk keadilan dan transparansi semakin menguat. Era baru politik Indonesia akan segera dimulai, dan Jokowi harus siap menghadapi konsekuensi dari masa kepemimpinannya.

Posting Komentar

0 Komentar