JUDI ONLINE MENYEBABKAN KRISIS SOSIAL YANG MERUSAK TATANAN MASYARAKAT


Oleh: Rika Dwi Ningsih
Aktivis Dakwah

Perjudian online telah menjadi krisis sosial yang merusak banyak aspek kehidupan di Indonesia. Masihkah kita ingat kisah tragis Fadhilatun Nikmah? Seorang polisi wanita yang tega membakar suaminya hidup-hidup, menjadi contoh nyata bagaimana judi online bisa menghancurkan keluarga. Fadhilatun marah karena suaminya, Briptu Rian DW, menghabiskan gaji ke-13 mereka untuk judi online, tindakan yang berujung pada tragedi. Tidak hanya kehilangan suami, anak-anak mereka kini harus tumbuh tanpa kehadiran orang tua. Ini adalah cerminan dari bahaya besar yang dihadapi masyarakat akibat judi online.


Dampak Sosial yang Mengkhawatirkan

Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, ironiya termasuk salah satu negara dengan jumlah pemain judi online terbesar. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengungkapkan bahwa sekitar 4 juta orang terdeteksi berjudi online, termasuk di antaranya 2,1 juta dari kalangan ekonomi lemah. Judi online tidak hanya melibatkan masyarakat biasa seperti buruh, pengemudi, hingga mahasiswa, tetapi juga aparat keamanan dan anggota DPR. Lebih dari 1.000 anggota DPR/DPRD diduga terlibat dalam transaksi judi online dengan nilai agregat mencapai Rp 25 miliar.

Lebih mengejutkan lagi, judi online bahkan menyasar anak-anak dan remaja. Berdasarkan data, ada sekitar 80 ribu anak di bawah 10 tahun yang terpapar judi online, serta 440 ribu anak usia 10-20 tahun. Judi online memberikan kemudahan akses dengan modal kecil, menjadikannya sangat mudah dimainkan oleh semua kalangan.


Kerusakan Keluarga dan Masyarakat

Efek dari judi online tidak hanya merusak ekonomi keluarga, tetapi juga merusak hubungan sosial. Banyak kasus perceraian di Indonesia yang disebabkan oleh perjudian. Pada tahun 2023, tercatat 1.572 pasangan bercerai karena judi, dengan kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur. Tidak hanya itu, beberapa laporan kriminal juga terkait dengan dorongan untuk bermain judi, seperti kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anggota Densus 88 dan kasus bunuh diri yang melibatkan anggota TNI karena terjerat utang judi.

Dalam pandangan Islam, judi adalah perbuatan yang dilarang keras. Al-Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa judi dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia serta menjauhkan mereka dari mengingat Allah dan menunaikan shalat (QS al-Maidah [5]: 91). Judi tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental para pemainnya. Kecanduan judi bisa menyebabkan gangguan psikososial seperti depresi, kecemasan, bahkan tindakan kriminal.


Peran Pemerintah dan Tantangan Penanganan

Meski pemerintah sudah berupaya memberantas judi online, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Satgas Khusus Pemberantasan Judi Online dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengklaim telah memblokir 1,9 juta situs judi online. Namun, judi online tetap marak dengan nilai transaksi yang mencapai Rp 600 triliun pada 2024, setara dengan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.

Salah satu kendala dalam memberantas judi online adalah server permainan yang berada di luar negeri seperti Tiongkok, Thailand, Filipina, dan Kamboja. Pemerintah melalui Kominfo bahkan menyatakan sulitnya menindak para pelaku karena lokasi server yang tidak berada di dalam negeri. Kecurigaan keterlibatan aparat dalam jaringan judi online juga memperburuk situasi. Sejumlah laporan menyebut adanya keterlibatan oknum aparat dalam melindungi bisnis ini, seperti yang diungkapkan dalam jaringan Konsorsium 303 yang mencuat pada kasus pembunuhan Brigadir Joshua.


Haruskah Judi Online Dinormalisasi?

Judi online jelas telah menjadi permasalahan besar di Indonesia. Namun, alih-alih memberantasnya secara tegas, muncul wacana kontroversial dari Menkominfo Budi Arie yang mengusulkan pemungutan pajak dari perjudian online. Hal ini mengingatkan pada era Gubernur Ali Sadikin yang sempat melegalkan perjudian di Jakarta sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah. Jika kebijakan seperti ini diterapkan kembali, judi online mungkin saja dinormalisasi hingga masyarakat lupa akan dampak merusaknya.

Sistem kapitalisme dan sekulerisme yang dianut negara ini memperlakukan judi sebagai urusan personal, kecuali jika sudah menimbulkan ketidakamanan. Namun, apakah solusi ini cukup? Haruskah negara menyerah pada kerusakan moral dan sosial yang ditimbulkan oleh judi online? Inilah saatnya negara menunjukkan political will yang kuat untuk benar-benar memberantas perjudian online, demi menyelamatkan masa depan generasi bangsa.


Membangun Kesadaran Kolektif dan Peran Negara dalam Islam

Berbeda dengan sistem saat ini, dalam sistem Islam, pemberantasan perjudian tidak hanya menjadi tanggung jawab individu atau masyarakat, tetapi juga negara. Negara Islam memiliki peran penting dalam menjaga moralitas publik dan memberantas kemaksiatan, termasuk perjudian. Melalui mekanisme pengawasan yang ketat, negara memastikan bahwa syariah Islam diterapkan secara menyeluruh, termasuk dalam mengawasi dan mengatur aktivitas masyarakat.

Negara akan melakukan penyuluhan secara berkala mengenai bahaya perjudian, baik dari segi duniawi maupun ukhrawi, sehingga masyarakat sadar akan dampak buruknya. Selain itu, negara juga akan memperkuat institusi-institusi keagamaan dan sosial yang mendorong peningkatan ketakwaan. Dengan demikian, pemberantasan perjudian dilakukan secara kolektif melalui pengawasan, edukasi, serta kebijakan tegas dari negara berdasarkan hukum syariah yang jelas.

Posting Komentar

0 Komentar