Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, mengungkapkan bahwa harga beras Indonesia tertinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, selisihnya bisa mencapai 20%. Ironisnya, pendapatan para petani tidak sebanding dengan kenaikan harga beras tersebut.
Kenaikan harga beras sudah dirasakan lebih dari 2 setengah tahun terakhir oleh masyarakat. Sejak kenaikan harga pada akhir 2022. Hingga saat ini pemerintah tidak mampu menstabilkan harga beras.
Namun kebijakan yang diambil pemerintah justru menyesuaikan harga eceran tertinggi (HET) dengan harga beras di pasaran, padahal seharusnya pemerintahlah yang harus bertanggung jawab untuk menekan harga beras agar seluruh masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Terkait hal ini Bank Dunia juga menyebutkan bahwa mahalnya harga beras di Indonesia disebabkan pembatasan impor serta keputusan pemerintah menaikkan harga jual beras hingga melemahkan daya saing pertanian.
Tetapi Presiden Jokowi menyangkal dan menyebutkan bahwa penyebab mahalnya harga beras adalah akibat adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan saat impor, sehingga menyebabkan naiknya harga beras.
Hal ini di perparah dengan berkurangnya lahan pertanian, mahalnya biaya pupuk, benih, dan upah buruh yang menyebabkan semakin tingginya ongkos produksi beras di tingkat petani.
Kacaunya pengelolaan sistem pertanian ini berpangkal dari sistem kapitalistik neoliberal. Bahayanya sistem kapitalisme ini telah membuat cara pandang tentang konsep pangan menyimpang dan hanya mengutamakan aspek ekonomi, yakni untuk mengejar pertumbuhan ekonomi negara, bukan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat.
Bahkan, tolak ukur untung-rugi ini makin melemahkan visi kedaulatan pangan dan menguatkan kapitalisasi pertanian. Begitu pula model pertanian modern, yang terus dikembangkan merupakan wujud dari korporatisasi atau industrialisasi pertanian.
Akibatnya tata kelola yang dijalankan oleh pemerintah (neoliberal) bukan berorientasi pada rakyat, bahkan penerapan sistem politik demokrasi malah makin meminggirkan peran negara.
Dalam demokrasi, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Sedangkan pengurusan berbagai hajat publik diserahkan kepada korporasi.
Kenyataan ini menyebabkan sulitnya petani mendapatkan lahan, justru alih fungsi lahan pertanian semakin marak. Begitu pula kesulitan mendapatkan alat-alat pertanian, karena petani harus membelinya dengan harga pasar yang sangat mahal.
Demikianlah sebagian penyebab mahalnya harga bahan pangan, khususnya beras, akibat penerapan sistem politik demokrasi yang melahirkan pemerintahan yang lemah dan abai mengurusi rakyat.
Praktik sistem ekonomi kapitalisme telah menimbulkan dominasi korporasi sangat besar dan menciptakan ketimpangan ekonomi.
Ini sangat berkebalikan dengan sistem Islam, Islam memiliki pandangan yang berbeda dalam mengatur pangan sehingga mampu mewujudkan pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh rakyat, termasuk jaminan stabilitas harga serta mensejahterakan rakyat terutama petani. Dan rakyat mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.
Tanggung jawab pengaturan pemenuhan kebutuhan, termasuk pangan, wajib berada sepenuhnya di pundak negara, yakni Khilafah.
Dalam hadis Rasulullah ï·º menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya...” (HR Muslim). Dengan demikian, pemerintah tidak boleh sekadar menjadi regulator lalu menyerahkan pengelolaannya kepada korporasi.
Ketika pemerintah menguasai pasokan pangan secara utuh, negara akan mampu mengendalikan harga. Oleh sebab itu, Khilafah wajib hadir mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Untuk menjaga arus pasokan, Khilafah memastikan produksi pangan tersalurkan secara optimal. Kebijakan pertanian akan dijalankan dengan dua strategi, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, termasuk penerapan hukum pertanahan yang akan menjamin seluruh lahan pertanian berproduksi optimal dan kepemilikan juga mudah didapatkan.
Terkait intensifikasi ini, Khilafah akan memastikan petani mudah mengakses modal dan alat-alat pertanian.
Sedangkan pada aspek distribusi, Khilafah hadir mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud rantai tata niaga yang bersih, transparan, sehingga harga yang terbentuk adalah harga yang wajar.
Khilafah sangat tegas melarang penimbunan, riba, praktik tengkulak, kartel, dan sebagainya.
Penerapannya disertai penegakan sanksi secara tegas sesuai syariat Islam. Untuk menjalankan pelaksanaan pengawasan ini, Khilafah akan mengangkat sejumlah kadi hisbah.
Sejalan dengan itu semua, sistem ekonomi Islam akan diberlakukan, di antaranya dengan mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam, sistem pengembangan harta yang syar’i, sistem mata uang berbasis emas dan perak, serta kebijakan lainnya.
Penerapan sistem politik ekonomi Islam secara kaffah juga akan mampu merealisasikan jaminan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat dan mensejahterakan petani. Pemenuhan hal ini bisa terwujud karena hadirnya pemerintah yang memang bervisi mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Hal tersebut hanya dapat terwujud dengan penerapan aturan Islam secara Kaffah yang dipimpin oleh seorang Khalifah.
Wallahu alam bissowab.
0 Komentar