GAYA KEPEMIMPINAN OTORITER JOKOWI DICONTOH PRABOWO?


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik 

Gaya kepemimpinan Jokowi sering kali disebut diktator, otoriter, dan tidak taat hukum. Di bawah pemerintahannya, banyak kebijakan yang seolah-olah hanya melayani kepentingan pribadi Jokowi, bahkan jika kebijakan itu bertentangan dengan hukum. Hukum yang seharusnya menuntun jalannya pemerintahan sering kali diubah agar sesuai dengan keinginan Jokowi, bukan sebaliknya.

Jika Jokowi menemukan hambatan hukum dalam mencapai tujuannya, hukum yang diubah, bukan kebijakannya yang disesuaikan. Sebagai contoh, ketika ada organisasi masyarakat (ormas) yang ingin dicabut Badan Hukum Perkumpulannya (BHP), tetapi secara hukum hal itu harus melalui proses pengadilan, Jokowi memilih mengubah undang-undangnya agar sesuai dengan keinginannya.

Era kepemimpinan Jokowi mirip dengan kepemimpinan Raja Louis XIV dari Prancis, yang terkenal dengan ungkapan "L'État, c'est moi" atau "Negara adalah aku." Hukum di tangan Jokowi tampak sebagai alat yang bisa diubah sesuai dengan kehendaknya, menciptakan sebuah negara yang dijalankan sesuai dengan kehendak pribadi seorang pemimpin.

Dalam ilmu hukum, gaya seperti ini dikenal dengan istilah autocratic legalism, yaitu kekuasaan otoriter yang menggunakan hukum untuk memperkuat dan melegitimasi kekuasaan. Yang mengejutkan, Prabowo Subianto, yang dulu menjadi rival Jokowi, kini tampak meniru gaya ini.


Prabowo Meniru Gaya Autocratic Legalism

Salah satu contoh nyata dari autocratic legalism Prabowo adalah pengangkatan Teddy Indra Wijaya, seorang perwira menengah TNI yang juga merupakan ajudan Prabowo, sebagai Sekretaris Kabinet. Padahal, dalam Pasal 47 ayat 1 UU TNI disebutkan bahwa prajurit aktif hanya bisa menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri sebagai prajurit. Jabatan Sekretaris Kabinet bukanlah jabatan yang bisa diisi oleh prajurit aktif.

Namun, alih-alih Teddy mengundurkan diri dari militer, aturan mengenai jabatan Sekretaris Kabinet justru diubah agar bisa diisi oleh seorang tentara aktif. Lagi-lagi, hukum tunduk pada kepentingan Prabowo, bukan Prabowo yang taat pada hukum.

Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, bahkan mengatakan bahwa struktur organisasi Sekretaris Kabinet sudah diubah sehingga Teddy tidak melanggar aturan. Aturan ini diubah agar jabatan tersebut berada di bawah Sekretariat Negara (Setneg), yang dianggap setara dengan posisi-posisi lain yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Ini semua menunjukkan bahwa Prabowo memanfaatkan hukum untuk melayani kehendaknya.


Prabowo: Lebih Otoriter dari Jokowi?

Masyarakat harus berhati-hati menilai Prabowo. Bukan hanya pidato berapi-apinya yang perlu diperhatikan, tetapi juga tindakannya. Pidato Prabowo mungkin berisi komitmen untuk menaati hukum, tetapi tindakannya justru menunjukkan sebaliknya, seperti yang terjadi dalam kasus pengangkatan Teddy Indra Wijaya.

Seharusnya, Teddy mengundurkan diri dari militer jika ingin mengisi posisi Sekretaris Kabinet. Atau Prabowo bisa mencari orang lain yang tidak bertentangan dengan aturan hukum. Dengan 282 juta penduduk Indonesia, sangat tidak masuk akal jika tidak ada orang lain yang mampu mengisi jabatan tersebut.

Rakyat harus tetap waspada. Jangan sampai Prabowo menjadi pemimpin yang lebih otoriter dibandingkan dengan Jokowi, menggunakan hukum sebagai alat untuk memperkuat kekuasaannya dan menundukkan kepentingan rakyat pada kehendak pribadinya.

Posting Komentar

0 Komentar