Oleh: Desi Anggraeni
Penulis Lepas
Beredar kabar anggota Dewan perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029 tidak lagi mendapatkan rumah dinas (rumdin), tetapi akan diganti dengan uang tunjangan perumahan. Dengan besaran nominal mencapai RP 50 juta per bulan. Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak (detik.Properti, Kamis, 10/10/2024).
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa kebijakan tersebut adalah pemborosan uang negara serta tidak menguntungkan kepentingan publik. ICW menduga perencanaan tersebut tidak mementingkan rakyat dan hanya untuk memperkaya anggota DPR saja. ICW juga mempersoalkan argumentasi utama sekjen DPR RI, Indra Iskandar, sebagai dalih pengalihan ke tunjangan karena fleksibilitas bagi anggota dewan dalam mengelola dan memilih rumah dinasnya sendiri.
"Pemberian fasilitas rumah dinas bagi anggota DPR harus dilihat dari esensi awalnya, yaitu sebagai fasilitas yang dimaksudkan untuk menunjang kinerja mereka," tegas Peneliti ICW, Seira Tamara.
Di sisi lain, tambah dia, tunjangan rumah dinas ini berasal dari anggaran negara yang bersumber dari pajak masyarakat. Oleh karena itu, ICW memandang aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya memiliki urgensi yang lebih penting dibanding sekadar fleksibilitas sebagaimana diargumentasikan oleh Sekjen DPR itu (tirto.id, 12/10/2024).
Tunjangan Meningkatkan Kinerja Wakil Rakyat?
Besaran gaji dan banyaknya fasilitas yang diterima anggota dewan, harapannya akan memudahkan peran mereka sebagai wakil rakyat dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Tapi, rasa-rasanya harapan tidak sesuai kenyataan.
Melihat dari kinerja anggota dewan periode sebelumnya, sekalipun mereka mendapat berbagai macam tunjangan, kenyataannya mereka tidak bekerja menyalurkan aspirasi rakyat. Namun, bekerja untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Buktinya, DPR justru bergerak cepat mengesahkan RUU yang mewakili penguasa dan pengusaha. Seperti RUU Minerba yang tergesa-gesa disahkan demi kebutuhan dan kepentingan perusahaan-perusahaan tambang batu bara. Pengesahan RUU ini sama sekali tidak menjawab permasalahan di lapangan, apalagi menguntungkan rakyat. Begitu pula dengan RUU Ciptaker yang diklaim gagal mensejahterakan buruh karena justru menguntungkan pemodal atau pengusaha. RUU ini tetap disahkan oleh DPR meski buruh memprotes dan menolaknya.
Sementara, undang-undang terkait kepentingan rakyat seperti RUU PPRT atau Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerjaan Rumah Tangga, meski sudah didesak oleh Komnas Perempuan dan berbagai aksi di depan gedung DPR RI, nyatanya RUU ini masih saja mangkrak selama dua dekade. Berbeda sekali dengan RUU yang di dalamnya memuat kepentingan penguasa atau pengusaha bisa disahkan dalam waktu sehari.
Dampak Kebijakan Dari Sistem Buruk
Apa lagi ini? wakil rakyat mendapat tunjangan lagi? Daftar tunjangan yang mereka terima semakin bertambah, makin kaya dong mereka. Begitulah kira-kira reaksi rakyat kecil mendengar berita ini. Jelas, kebijakan ini akan memicu kecemburuan sosial. Terutama mereka yang berasal dari kalangan para pekerja atau buruh. Pun dengan masyarakat umum yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, akan sangat terasa ketidakadilannya. Di mana anggota DPR asik menikmati tunjangannya, para buruh atau pekerja harus rela gajinya dipotong 3 persen untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Belum lagi potongan BPJS, pajak penghasilan dan potongan-potongan lainnya. Nominal gaji yang tidak seberapa tetapi banyak dipangkas untuk sesuatu yang belum tentu bisa dinikmati.
Tinggal berapa rupiah saja yang benar-benar bisa dinikmati para pekerja. Rasa ngenes juga dirasakan oleh kalangan masyarakat yang masih pontang-panting memeras keringat demi sesuap nasi. Sementara wakil rakyatnya yang sudah memiliki banyak uang, bertambah jumlah kekayaannya dengan adanya tunjangan perumahan. Kebijakan ini akan memicu ketimpangan sosial antara pejabat dengan rakyat kecil. Semakin lebar saja jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Ironi! Di tengah sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan rumah karena keterbatasan dana dan mahalnya kepemilikan hunian, justru anggota dewan dengan mudahnya mendapatkan transferan dana tunjangan perumahan. Tentu saja, fakta ini semakin menyakiti hati rakyat. Kebijakan penetapan pajak Tapera yang dibebankan kepada rakyat menjadi bukti bahwa negara angkat tangan pada kebutuhan hunian rakyat.
Negara abai pada fungsinya sebagai pengurus rakyat. Kebijakan-kebijakan negara acapkali ditunggangi beragam kepentingan yang menguntungkan para elit politik. Tidak lain dan tidak bukan, materilah yang menjadi orientasinya. Prioritasnya jelas mengarah pada keuntungan pribadi dan oligarki. Sementara rakyat dibiarkan gigit jari dan dipaksa mandiri. Begitulah gambaran negeri yang menerapkan sistem kapitalis sekuler. Di mana kepentingan penguasa di atas segala-galanya. Kebiasaan miris ini akan terus berulang selama negeri ini masih mempertahankan kapitalismenya.
Pengurusan Masalah Rakyat Dalam Islam
Islam telah mencontohkan bagaimana seharusnya seseorang mengemban amanah sebagai wakil rakyat. Wakil rakyat dalam Islam disebut Majelis Ummah. Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshor yang mewakili kaum mereka. Mereka terdiri dari orang-orang yang dipilih umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam muhasabah yaitu mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan.
Jelas, konsep wakil rakyat dalam Islam atau Majelis Ummah dengan DPR saat ini sangat berbeda dari segi peran dan fungsinya. Majelis ummah murni mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas menjadi penyambung lidah rakyat.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
…اَلْإِمَامُ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).
Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan sebab status sebagai Majlis Ummah merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ, bukan keistimewaan yang diberikan negara.
Islam juga memiliki aturan terkait harta, kepemilikan maupun pemanfaatannya. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan harta dibagi menjadi tiga. Yaitu harta milik individu seperti sawah, kebun, ladang dan sejenisnya. Harta milik rakyat, yakni sumber daya alam dan harta milik negara seperti iqtha', jizyah, usyur dan sejenisnya. Konsep ini akan membawa keadilan bagi semuanya. Sebab Islam melarang adanya pencampuran pemanfaatannya. Misalnya harta milik rakyat haram dimonopoli swasta apalagi sampai diprivatisasi. Semuanya memiliki batasan jelas dan menjamin pengaturan yang jelas pula.
Harta sumber daya alam harus dikelola negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Salah satunya bisa berupa kemudahan memperoleh rumah untuk tempat tinggal. Dengan begitu tidak ada lagi kesenjangan sebagaimana DPR saat ini dengan rakyat. Seperti inilah Daulah Islam menyelesaikan masalah rakyat.
Konsep Islam ini akan mampu menjaga dan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Pun dengan kebutuhan hunian setiap individu rakyat. Hal demikian hanya bisa terwujud dalam sistem shahih yang menerapkan syariat Allah secara utuh dan menyeluruh dalam wadah Islam yaitu Daulah Islam atau Khilafah. Dengannya umat terjaga, sejahtera dan keberkahan pun menjadi hal yang niscaya.
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,..." (QS. Al-A'raf: 96)
Wallahu'alam bissawab.
0 Komentar