DEN, OVERLAPPING PENGURUSAN EKONOMI


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Hari ini antara kepentingan, loyalitas dan tulus iklas susah dibedakan, sebagaimana yang dilakukan mantan menteri koordinator di era Presiden Ke-7 RI Joko Widodo, Luhut Binsar Pandjaitan, yang pernah mengaku tidak lagi memiliki keinginan untuk menjadi menteri jika ditawari oleh presiden terpilih pada Pemilu 2024. Namun ia juga mengatakan tetap bersedia apabila diminta hanya untuk memberikan saran.

Bisa jadi, di pemerintahan yang baru ini apa yang ia kehendaki dikabulkan. Luhut pun terpilih menjadi ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), berdasarkan Keppres Nomor 139 P Tahun 2024 tentang Pengangkatan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Sebuah lembaga yang seolah dibangkitkan kembali setelah dibubarkan sejak awal masa reformasi. Awalnya DEN dibentuk Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid dengan payung hukum Keppres RI Nomor 144 Tahun 1999.

DEN diperbantukan untuk keberhasilan Kabinet Persatuan Nasional, khususnya dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional dari krisis. DEN kala itu diisi dengan himpunan para ahli dalam berbagai bidang ekonomi untuk memberi nasihat kepada presiden mengenai kebijakan ekonomi berdasarkan amanat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Selang setahun, melalui Keppres RI Nomor 122 Tahun 2000 tentang Pembubaran Dewan Ekonomi Nasional, Presiden Gus Dur membubarkan DEN, dengan pertimbangan untuk lebih meningkatkan kinerja Kabinet Periode 1999—2004 dalam upaya pemulihan ekonomi nasional. Artinya, DEN tidak terlalu terlihat kontribusinya sebagaimana awal dibentuk. Emil Salim sebagai ketua dan jajaran pengurus lainnya pun akhirnya diberhentikan secara hormat dari jabatan di DEN.

Pertanyaannya, DEN kembali dibentuk oleh pemerintahan Prabowo apakah dengan maksud yang sama, meski pengalaman lalu tidak menunjukkan keberhasilan? Apalagi negeri ini sudah mengalami deflasi beberapa bulan berturut-turut dan daya beli masyarakat menurun (republika.co.id, 21-9-2024).

Pengamat ekonomi sekaligus Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip berharap DEN mampu mendorong perkembangan ekonomi Indonesia lebih baik dalam lima tahun ke depan. Untuk itu harus melibatkan para profesional, termasuk sosok-sosok yang tidak masuk ke dalam Kabinet Merah Putih.

Sunarsip mengatakan, banyak menteri di bidang ekonomi di era pemerintahan Presiden Jokowi yang sebenarnya sangat capable di bidangnya, namun tidak masuk kembali dalam jajaran kabinet Presiden Prabowo Subianto, seperti misalnya Sandiaga Salahuddin Uno, yang sudah terbukti mumpuni di bidang investasi, UMKM, pariwisata dan ekonomi kreatif. Atau juga sosok-sosok yang aktif di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Kembali dihidupkannya DEN, menurut Sunarsip perlu disambut baik, dengan tetap ada penjagaan agar perannya tetap pada koridor yang semestinya, agar tugasnya tidak overlapping dengan kewenangan yang dimiliki kementerian. Sebab DEN semestinya bukan lembaga yang memiliki otoritatif untuk mengkoordinir, apalagi mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pembangunan ekonomi.

Di dalam kabinet sendiri masih ada lembaga yang lebih berwenang yaitu Menteri Koordinasi di bidang Perekonomian, yang sekarang ditambah dengan Menteri Koordinasi di bidang Infrastruktur. Sedangkan yang memiliki kewenangan untuk membuat peraturan dan kebijakan adalah menteri teknis di bidang ekonomi terkait.

Artinya DEN tetap memiliki fungsi yang sama sebagaimana era Gus Dur yaitu lembaga yang bertugas memberikan nasehat, pandangan, dan masukan kepada pemerintah terkait dengan kebijakan ekonomi. Jangan sampai peran Pak Luhut di DEN disamakan dengan saat beliau masih menjabat sebagai Menko Maritim dan Investasi tutup Sunarsip.


Kabinet Ala Kapitalisme, Bagi-bagi Kue Kekuasaan

"Gebrakan" Presiden Prabowo memang cukup membelalakkan mata, kabinet gemuk yang diklaim "Zaken" karena terdiri dari orang-orang yang profesional di bidangnya banyak dipertanyakan keefektifannya oleh masyarakat, satu kelembagaan yang dulu hanya butuh satu mentri, satu wakil menteri dan beberapa staf khusus kini ada yang satu lembaga diisi hingga tiga menteri, ditambah wakil, staf khusus, hingga utusan khusus dan dewan kementrian. Nampak sekali adanya pembagian rata kue kekuasaan atas berkoalisinya hampir semua partai kepada presiden terpilih.

Untuk masalah ekonomi ini pun bertumpuk dan bertingkat. Seolah ada kesan semakin ribet, semakin melibatkan banyak orang masalah perekonomian akan bisa diselesaikan dengan tuntas dan baik. Yang jelas nampak dhahir bukan lagi kinerja mereka tapi justru beban negara yang kian bertambah, apalagi jika bukan terkait gaji dan berbagai fasilitas yang akan diberikan pada para pejabat baru ini?

Padahal APBN negara sudah taraf memprihatinkan. Dengan tingkat daya beli masyarakat yang menurun, lapangan pekerjaan sulit, mereka yang bekerja pun terkena PHK , akan semakin menihilkan pendapatan per kepala keluarga, ditambah dengan berbagai biaya kebutuhan pokok yang mahal tentu akan berimbas pada penurunan pendapatan pajak yang menjadi salah satu pendapatan utama APBN.

Rakyat semestinya menyadari, inilah konsekwensi hidup dengan aturan sistem batil yaitu demokrasi kapitalisme. Dimana pendapatan negara berasal dari utang dan pajak. Padahal, negeri ini kaya raya, yang jika dikelola secara mandiri oleh negara, bisa menghidupi rakyat lebih dari cukup, justru diberikan kepada asing. Semua itu legal, disahkan melalui pasal-pasal dan ayat-ayat dalam undang-undang ciptakerja atau Omnibuslaw.

Dimana peran negara terbesar adalah menyiapkan suasana bisnis yang ramah dan menguntungkan, tanah, air, tambang, energi dan kekayaan lainnya menjadi komoditas untuk dieksplore negara lain. Benar-benar negara hanya regulator kebijakan, kita lebih hanya menerima dampaknya, yaitu kemiskinan, kerusakan ekosistem, konflik sosial dan jelas kerugian negara karena penguasaan bisnis mafia dan lainnya.

Demokrasi sebagai sistem politik ternyata juga menghasilkan sosok pemimpin yang pragmatis. Loyal kepada ratifikasi Kebijakan global yang sejatinya malah menjadikan negara ini tergadai dengan kepentingan kafir barat yang benar-benar ingin menghegemoni Indonesia yang kaya sekaligus memiliki pasar potensial untuk membeli produk-produk mereka. Mereka melibas kemandirian ekonomi kita dengan perjanjian pasar bebas.

Dengan kata lain, apapun solusi yang diambil hari ini, bahkan penambahan ahli ekonomi berapa pun sepanjang masih menerapkan ekonomi kapitalis maka sepanjang itulah bencana ekonomi akan terus terjadi. Saatnya kita beralih kepada solusi Islam.


Islam Solusi Terbaik Wujudkan Sejahtera

Mengapa harus Islam? Sebab Islam bukan hanya agama pengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta, tapi Islam juga agama yang mengatur politik (mengatur urusan umat dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka dengan syariat). Sehingga ekonomi pun menjadi perhatian Islam, tak hanya bahas darimana didapatnya harta, cara-cara pengembangannya tapi juga terkait penggunaannya. Halal haram adalah standar bajunya tanpa memilah apakah di dalamnya ada manfaat atau tidak. Riba haram, maka meski menghasilkan banyak manfaat, tak akan diambil oleh sistem Islam.

Hal ini berkaitan dengan akidah bahwa di hari akhir, setiap amal anak Adam terkait harta akan lebih berat hisabnya, sebagaimana Rasulullah ï·º bersabda, "Orang yang memiliki uang dua dirham hisabnya lebih berat dibandingkan orang yang hanya mempunyai uang satu dirham. Dan orang yang memiliki uang dua dinar hisabnya lebih berat daripada orang yang hanya mempunyai satu dinar." (HR Baihaqi).

Maka dalam Islam, jaminan sejahtera rakyat individu perindividu ada di tangan negara. Diantaranya dengan mengelola kepemilikan umum dan negara untuk kemudian hasilnya dikembalikan kepada rakyat, baik secara riil zatnya (seperti BBM, listrik dan lainnya) maupun pembangunan berbagai kebutuhan publik seperti sekolah, jalan, rumah sakit dan lainnya.

Sanksi hukum jika terjadi kecurangan, pengkhianatan, penumpukan harta, kezaliman penguasa atas rakyatnya dan lainnya akan ditegakkan secara tegas tanpa memandang apakah ia penguasa ataukah rakyat jelata.

Dengan Baitulmal sebagai sistem keuangannya, negara memiliki beragam pendapatan negara sehingga tidak perlu utang atau pun menarik pajak sepanjang tahun kepada semua orang. Persoalan perekonomian, sudah pasti terjadi karena tidak diterapkannya syariat Islam. Maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai yang ditaklif syara berjuang untuk menerapkan.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar