Oleh: Alex Syahrudin
Pengamat Politik dan Perubahan
Di Indonesia, rezim yang berkuasa saat ini adalah hasil dari sistem demokrasi, bukan karena perjuangan Khilafah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi kepala negara dan menjalankan kekuasaannya di bawah sistem demokrasi, sebuah sistem yang berbeda dengan syariat Islam. Jokowi bukanlah pejuang Khilafah, melainkan pengemban demokrasi, sebuah sistem yang jauh dari penerapan syariat Islam secara kaffah.
PDIP, partai yang mengusung Jokowi sejak awal karier politiknya sebagai Presiden, juga adalah partai demokrasi. Partai ini tidak pernah mengkampanyekan penerapan syariah Islam atau Khilafah. Mereka berdiri sebagai partai sekuler yang mempromosikan nilai-nilai demokrasi. Hal ini juga berlaku bagi partai-partai lain, seperti Partai Demokrat, yang namanya saja sudah menunjukkan komitmen terhadap demokrasi. Bukan pengemban dakwah Islam, apalagi pejuang Khilafah.
Tidak hanya itu, partai-partai besar lainnya seperti NasDem, Golkar, dan Gerindra juga menjadi pengusung demokrasi. Meskipun partai-partai ini memiliki pengaruh besar dalam politik Indonesia, tidak satu pun dari mereka mengusung penerapan syariah Islam atau mendukung sistem Khilafah.
Salah satu partai yang mengaku sebagai partai Islam, yaitu PKS, meski mengklaim berjuang untuk kepentingan Islam, pada kenyataannya tetap berada dalam ranah demokrasi. PKS seringkali menggunakan dalih 'maslahat' sebagai alasan untuk mengambil keputusan pragmatis yang sesuai dengan kepentingan politik mereka, bukan berdasarkan hukum Syara'. Ini menunjukkan bahwa, meskipun mereka menggunakan label Islam, praktik politik PKS lebih banyak dipandu oleh prinsip-prinsip demokrasi daripada syariah Islam.
Partai-partai lain yang juga mengklaim dekat dengan Islam, seperti PPP, PKB, dan PAN, sebenarnya tidak berbeda jauh dari PKS. Mereka adalah pengemban demokrasi, dengan fokus utama pada kepentingan politik pragmatis dan materialistis.
Korupsi: Warisan Demokrasi, Bukan Khilafah
Jika kita mengevaluasi kondisi negeri ini, banyak kerusakan yang muncul akibat korupsi yang meluas. Korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan bernegara, dan yang melakukannya adalah para pengusung demokrasi. Contoh kasus yang menonjol adalah kader PDIP yang terlibat korupsi. Dari yang sudah dipenjara hingga yang masih buron, seperti Harun Masiku, semua adalah kader partai demokrasi, bukan pejuang Khilafah.
Di sisi lain, kita juga menemukan korupsi dalam tubuh partai-partai lain yang mengusung demokrasi. Lutfi Hasan Ishaq dari PKS, misalnya, terlibat dalam kasus korupsi sapi. Romi, Ketua PPP, mengikuti jejak Surya Dharma Ali yang juga tersandung korupsi. Mereka semua adalah pengusung demokrasi, bukan Khilafah.
Begitu pula dengan politisi PKB seperti Imam Nahrawi, serta tokoh-tokoh lainnya yang terseret kasus korupsi. Mereka adalah bagian dari sistem demokrasi, bukan pejuang Islam. Idrus Marham, Sekjen Golkar, hingga Setya Novanto, juga mencerminkan perilaku korupsi dalam sistem demokrasi.
Politisi Demokrat, mulai dari Anas Urbaningrum hingga para tokoh yang mendukung kekuasaan Jokowi setelah berpisah dengan Anies Baswedan, semuanya adalah bagian dari sistem demokrasi. Menteri Kelautan dan Perikanan dari Gerindra yang terjerat kasus korupsi juga bukan pengusung Khilafah, melainkan bagian dari partai yang mengusung demokrasi.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi dari PAN, Demokrat, Gerindra, hingga partai-partai lain tidak dilakukan untuk memperjuangkan syariat Islam. Mereka adalah bagian dari sistem demokrasi yang justru memperparah kerusakan negeri ini.
Oligarki dan Penguasaan Sumber Daya Alam
Kerusakan yang lebih mendalam juga bisa kita lihat dari penguasaan sumber daya alam (SDA) oleh segelintir elit, yang sering disebut sebagai oligarki. Kelompok ini, yang dikenal dengan istilah '9 naga', telah merampok kekayaan negeri ini dengan bebas. Mereka bisa leluasa menguasai sektor-sektor penting karena sistem demokrasi memungkinkan mereka untuk melakukannya. Jika sistem Khilafah yang diterapkan, semua SDA ini akan dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan untuk menambah kekayaan para oligarki.
Khilafah, dalam pengelolaan sumber daya alam, akan mengembalikan seluruh kekayaan alam kepada rakyat melalui mekanisme Baitul Mal. Kekayaan ini akan digunakan untuk membangun kesejahteraan masyarakat, menyediakan pelayanan publik yang layak, dan menjaga agar kekayaan negeri tidak jatuh ke tangan segelintir orang.
Khilafah: Solusi Perbaikan Negeri
Dari penjelasan di atas, sudah jelas bahwa kerusakan yang terjadi di negeri ini bukanlah disebabkan oleh Khilafah, melainkan oleh demokrasi. Sistem demokrasi, dengan segala kelemahannya, telah menjadi sumber utama kerusakan. Korupsi, ketidakadilan, dan ketimpangan ekonomi semuanya berakar dari demokrasi.
Sebaliknya, pejuang Khilafah justru tengah sibuk memperbaiki keadaan negeri ini. Mereka terus berjuang menyadarkan umat Islam agar kembali kepada ajaran Islam yang sebenar-benarnya, serta menerapkan syariah Islam secara kaffah melalui tegaknya Khilafah. Dengan penerapan syariah Islam secara total, diharapkan negeri ini dapat menjadi 'Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur,' yaitu negeri yang sejahtera dan diridhai oleh Allah ï·».
Khilafah akan memimpin negeri ini dengan keadilan, melayani seluruh rakyat tanpa diskriminasi, dan menjaga agar kekayaan alam tidak jatuh ke tangan segelintir elit. Khilafah juga akan memastikan bahwa hak-hak rakyat terpenuhi, mulai dari kebutuhan dasar hingga pelayanan publik yang memadai, semuanya berdasarkan syariat Islam.
Jika umat Islam ingin melihat perubahan nyata, solusi satu-satunya adalah kembali kepada Islam dan menerapkan syariah secara kaffah. Inilah yang akan membawa keberkahan bagi negeri ini dan melindungi dari segala bentuk kerusakan yang telah ditimbulkan oleh demokrasi.
0 Komentar