Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Demokrasi, yang dulu dianggap sebagai jalan terbaik untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat, kini justru menjadi sumber kelelahan dan kekecewaan yang tak terperi. Dulu, mereka yang kita dukung berdiri di sisi kita, tetapi sekarang mereka berbalik arah, saling menyerang dan menghujat. Contoh-contohnya begitu nyata, dan kisah Prabowo adalah salah satu bukti yang mencolok.
Pada Pilpres 2019, Prabowo berseberangan dengan Jokowi. Dalam kampanyenya di Yogyakarta, Prabowo dengan tegas menyebut Jokowi sebagai antek asing dan aseng, bahkan dengan penuh semangat menggebrak podium untuk meyakinkan massa. Video itu menjadi viral, tersebar di berbagai platform media sosial dan dijadikan meme di percakapan WhatsApp.
Namun, tak lama setelah kekalahan, Prabowo yang dulu berjanji akan 'timbul tenggelam bersama rakyat,' justru luluh karena hidangan nasi goreng Megawati di Teuku Umar. Dengan dalih persatuan dan demi masa depan bangsa, Prabowo menerima tawaran sebagai Menteri Pertahanan dan bergabung dengan kabinet Jokowi. Ia timbul bersama kekuasaan, sementara rakyat yang mendukungnya dibiarkan tenggelam sendirian.
Pilpres 2024: Skenario Berulang
Kini, menjelang Pilpres 2024, situasi semakin kacau. Prabowo berseberangan dengan Anies dan PKS. Pertarungan di antara mereka begitu sengit. Anies menyindir Prabowo hanya bernilai 11 dari 100, sementara Prabowo menuduh Anies hanya berisi omongan kosong. Di sisi lain, rakyat terpecah belah, hubungan keluarga dan persaudaraan hancur karena Pilpres.
PKS, yang dulu mendukung Prabowo, kini menuduh pendukungnya amnesia dan mengkritik Prabowo atas kejahatan HAM. Namun, secara mengejutkan, PKS kembali bergabung dengan Prabowo dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan mendukung politik dinasti Jokowi di Pilgub Sumatera Utara. Dulu, PKS dan Anies bak dua sejoli seperti Upin dan Ipin, namun kini mereka saling menjauh, bahkan saling menyerang.
Namun, tidak menutup kemungkinan mereka akan bersatu kembali. Seperti PKS yang sebelumnya berseteru dengan Partai Gelora, tapi akhirnya bersatu dalam KIM Plus. Penyatuan mereka bukan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kekuasaan.
Rumor lain mengatakan bahwa Anies mungkin akan masuk kabinet Prabowo-Gibran. Jika itu terjadi, PKS kemungkinan besar akan kembali bersatu dengan Anies. Bukan karena kepentingan rakyat, melainkan karena pragmatisme kekuasaan.
Siklus Kebohongan Demokrasi
Pilkada DKI Jakarta juga tak luput dari drama. Rumor berkembang bahwa pendukung RK Suswono menyerang kebijakan Pramono Rano soal penghapusan program mengaji setelah shalat Maghrib. RK sendiri dikenal nyinyir terhadap warga Jakarta, sementara pemilihan calon lainnya juga penuh kontroversi. Lantas, siapa yang akan kita pilih?
PDIP dan Gerindra mungkin berseteru dalam Pilpres 2024, tapi rumor mengatakan bahwa Megawati akan kembali mendekati Prabowo dengan nasi goreng di Teuku Umar, seperti yang dilakukan sebelumnya untuk mendekati Prabowo di kabinet Jokowi-Ma'ruf. Kali ini, Mega akan meminta jatah menteri dari Prabowo.
Kisah-kisah semacam ini membuat kita lelah. Inkonsistensi, kemunafikan, dan kebohongan demokrasi semakin nyata. Para pemain politik dalam sistem demokrasi hanya menipu rakyat, berorientasi pada kekuasaan, dengan dalih 'demi rakyat.'
Saatnya Beralih ke Khilafah
Jika kita ingin terus capek dan dibohongi, maka tetaplah istiqomah mendukung demokrasi. Namun, jika kita mendambakan perubahan sejati, masyarakat yang diridhai Allah ï·», keberkahan dari langit dan bumi, serta penguasa yang melayani rakyat dengan amanah, maka sudah saatnya kita berjuang untuk Khilafah.
Khilafah menjadikan hukum Syariah sebagai acuan, bukan pragmatisme atau kepentingan kekuasaan. Sistem ini berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan sekulerisme dan materialisme. Berjuang untuk Khilafah jelas berpahala, sementara berjuang dalam demokrasi hanya menambah dosa, karena sistem ini menyulitkan rakyat dan menentang hukum Allah ï·».
Sudah saatnya kita tinggalkan demokrasi. Segera beralih dan menjadi pejuang Syariah dan Khilafah.
Allahu Akbar!
0 Komentar