Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Rakyat semakin geram dengan tindakan para elit politik dan pejabat negeri ini. Di tengah perjuangan masyarakat untuk menjaga kedaulatan dan martabat bangsa, justru para pejabat terlihat mengorbankan kedaulatan negara demi kepentingan pribadi. Ditambah lagi, mereka terus membebani rakyat dengan pajak yang menyulitkan. Ironisnya, rakyat yang menyuarakan kemarahan mereka dianggap bersalah, sementara pejabat yang korup dan menjual kedaulatan negara seakan dibiarkan bebas.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2023 yang diikuti oleh Permendag No. 20/2024 dan Permendag No. 21/2024, yang pada dasarnya melegalkan ekspor pasir laut. Namun, inti permasalahan bukan sekadar legalisasi ekspor pasir laut, melainkan ekspor batas wilayah negara ke Singapura.
Menurut hukum laut internasional (UNCLOS), batas wilayah maritim sebuah negara diukur dari garis pantai terluar. Garis pantai ini bisa diambil dari pulau terluar negara tersebut. Ketika pasir dari pantai pulau-pulau terluar dikeruk untuk diekspor, otomatis garis pantai tersebut akan menyusut, mengurangi luas wilayah kedaulatan negara. Di sisi lain, negara yang mendapatkan pasir ini, seperti Singapura, dapat menambah luas daratannya melalui reklamasi, yang secara otomatis memperluas wilayah kedaulatannya. Akibatnya, batas wilayah Indonesia berkurang, sementara batas wilayah Singapura semakin meluas.
Dengan ekspor pasir laut, batas kedaulatan Republik Indonesia tergerus, sementara Singapura justru memperbesar wilayah kedaulatannya melalui reklamasi yang memanfaatkan pasir dari Indonesia. Jadi, masalah ini bukan sekadar isu lingkungan atau keberlangsungan hidup para nelayan, melainkan isu kedaulatan nasional yang seharusnya dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Di berbagai perbatasan negara, TNI dikerahkan untuk menjaga wilayah dan kedaulatan. Namun, di sisi lain, kebijakan ekspor pasir laut justru secara perlahan-lahan merongrong batas wilayah Indonesia. Singapura mendapatkan daratan baru, sementara Indonesia kehilangan bagian dari kedaulatannya.
Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan, hanya mengeluh tentang rakyat yang mencaci pemerintah, bahkan menyebut Jokowi sebagai presiden terburuk yang harus bertanggung jawab setelah lengser. Namun, dia tidak pernah mempermasalahkan aktivitas yang mengikis kedaulatan negara. Sebaliknya, Zulkifli justru menandatangani peraturan yang melegalkan ekspor pasir laut, yang pada intinya adalah penjualan batas wilayah negara.
Bagaimana rakyat tidak marah? Jokowi berdalih bahwa ekspor pasir laut sebenarnya adalah pengelolaan sedimen. Namun, dia sendiri mengakui bahwa di dalam sedimen tersebut terkandung pasir laut. Pernyataan ini penuh kontradiksi dan membahayakan masa depan bangsa.
Selain Jokowi dan Zulkifli, nama Yusril Ihza Mahendra juga muncul dalam kasus ini. Yusril dengan enteng menyatakan bahwa ekspor pasir laut dilakukan karena Singapura membutuhkannya. Ternyata, Yusril terlibat dalam rencana ekspor pasir ini melalui perusahaannya, PT Gajamina Sakti Nusantara, yang didirikan pada Juni 2023. Yusril bukan satu-satunya, Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, juga terlibat melalui PT Rejeki Abadi Lestari yang didirikannya pada Agustus 2023, tak lama setelah Jokowi mengesahkan kebijakan pemanfaatan sedimen laut.
Sungguh ironis, Muzani, Sekjen Gerindra, meminta penundaan ekspor pasir laut, sementara Hashim, yang juga petinggi Gerindra, justru ikut terlibat dalam proyek ekspor ini. Kejahatan politik semacam ini hanya memperlihatkan bagaimana kedaulatan negara dijual murah demi keuntungan pribadi.
Kedaulatan negara yang seharusnya dijaga dengan ketat kini terancam oleh penguasa culas dan politisi busuk yang lebih peduli pada kekayaan mereka sendiri. Rakyat yang menyuarakan kemarahan mereka justru disalahkan. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya salah dalam situasi ini? Apakah para pemimpin benar-benar memikirkan nasib bangsa atau hanya sibuk mengisi pundi-pundi kekayaan mereka?
0 Komentar