Oleh: Diaz
Penulis Lepas
Dalam pandangan Islam, kekuasaan bukan sekadar hak, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Berbeda dengan sistem demokrasi yang dalam pandangannya sering kali mengutamakan ambisi dan perebutan kekuasaan, Islam menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang boleh diminta atau dikejar oleh mereka yang berambisi.
Nabi Muhammad ﷺ dengan tegas menyatakan:
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat atas tugas (jabatan) ini seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya (HR Muslim).
Hal ini menekankan bahwa kekuasaan adalah amanah besar yang tidak boleh diserahkan kepada mereka yang bernafsu untuk mendapatkannya.
Abu Bakar ath-Tharthusi dalam karyanya Sirâj al-Muluk menjelaskan bahwa orang yang berambisi terhadap kekuasaan cenderung memiliki sifat khianat. "Jika seseorang yang khianat diberi amanah, itu seperti meminta serigala untuk menggembalakan domba," ujarnya. Maka, siapa pun yang diberi amanah kekuasaan harus mampu menjalankannya dengan tanggung jawab, bukan dengan niat mencari keuntungan pribadi.
Jabatan adalah Amanah, Bukan Alat untuk Menipu Rakyat
Dalam Islam, kekuasaan merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Nabi Muhammad ﷺ pernah menasihati sahabatnya, Abu Dzar ra., saat ia meminta jabatan.
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
Wahai Abu Dzar, sungguh engkau adalah orang yang lemah. Kekuasaan itu adalah amanah dan kekuasaan tersebut pada Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haq dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu (HR Muslim).
Pesan ini menyiratkan bahwa kemampuan atau kapabilitas seseorang dalam memegang jabatan adalah hal utama yang wajib dijadikan sarat pengangkatannya. Karena sejatinya orang yang tidak memiliki keahlian di bidangnya akan menelantarkan amanah tersebut, dan hal ini akan membawa kehancuran. Rasulullah ﷺ juga mengingatkan bahwa tanda-tanda kehancuran sebuah negeri adalah ketika amanah diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten:
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
“Jika amanah sudah disia-siakan maka tunggulah Hari Kiamat.” Ada orang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Nabi ﷺ menjawab, “Jika suatu urusan (amanah) diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari).
Pemimpin yang Adil dan Didukung oleh Orang Shalih
Islam juga menekankan pentingnya seorang pemimpin dikelilingi oleh orang-orang yang jujur dan shalih. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa Allah akan memberikan kebaikan kepada seorang pemimpin jika ia memiliki pembantu yang jujur dan mengingatkannya ketika lupa. Sebaliknya, jika pemimpin dikelilingi oleh orang-orang jahat, maka mereka tidak akan mengingatkannya saat ia lupa dan justru mendorongnya ke arah keburukan. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِالأمِيرِ خَيرًا، جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ، وَإِذَا أَرَادَ بِهِ غَيرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ، إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرهُ، وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
Jika Allah menghendaki kebaikan untuk pemimpin, Dia menjadikan untuk dirinya seorang pembantu yang jujur. Jika dia lupa, pembantunya itu mengingatkan dirinya. Jika dia ingat, pembantunya itu menolong dirinya. Jika Allah menghendaki selain itu, Dia menjadikan untuk dirinya pembantu yang jahat. Jika dia lupa, pembantunya itu tidak mengingatkan dirinya. Jika dia ingat, pembantunya itu tidak menolong dirinya (HR Abu Dawud).
Dalam hadis tersebut menujukkan betapa pentingnya sebuah sistem kepemimpinan yang adil dan jujur. Seorang pemimpin yang baik bukan hanya bertindak benar, tetapi juga didukung oleh orang-orang yang mendorongnya untuk berbuat kebaikan.
Kekuasaan itu untuk Mengurus Rakyat, Bukan Justru Memperalatnya
Salah satu prinsip utama dalam Islam adalah bahwa kekuasaan ada untuk melayani dan mengurus rakyat, bukan sebaliknya. Seorang pemimpin yang bertanggung jawab akan selalu mengutamakan kesejahteraan rakyatnya, bukan memperkaya diri sendiri atau golongannya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (kepala negara) itu adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR ar-Bukhari dan Muslim).
Sayangnya, dalam sistem demokrasi modern, sering kali rakyat justru ditelantarkan setelah pemilu. Kekayaan para pejabat bertambah, sementara rakyat menderita. Bahkan dalam beberapa kasus, kekayaan presiden dan menteri terus melonjak di tengah badai kemiskinan dan pengangguran yang melanda rakyat.
Ancaman Bagi Penguasa yang Menipu Rakyat
Islam memberikan peringatan keras bagi pemimpin yang menyelewengkan amanah kekuasaan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتهِ إلا حَرَّمَ الله عَلَيهِ الجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba pun, yang telah Allah amanahi untuk mengurusi urusan rakyat, mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dirinya masuk surga (HR Muttafaq ’alayhi).
Ini adalah ancaman serius bagi para penguasa yang menelantarkan rakyatnya dan menipu demi kepentingan pribadi.
Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, sangat menyakitkan melihat pejabat yang hidup mewah sementara rakyat menderita. Para pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab akan memprioritaskan kesejahteraan rakyat di atas segala kepentingan pribadi atau golongan.
Keadilan Hanya Bisa Terwujud dengan Syariah Islam
Islam memandang kekuasaan tidak akan bisa dijalankan dengan baik tanpa diterapkannya syariah. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' Ayat 58:
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
58. Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
Imam ath-Thabari menegaskan bahwa penguasa wajib berhukum dengan hukum Allah bukan hukum yang lain, dan menunaikan amanah yang telah diberikan kepada mereka sesuai hukum Islam. Penerapan syariah Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan Khilafah sesungguhnya akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, tanpa memandang golongan atau kepentingan pribadi, dan situasi tersebut mustahil terwujud pada sistem pemerintahan selain sistem pemerintahan Islam (Khilafah).
Kesimpulan
Amanah kekuasaan dalam Islam adalah tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan penuh keimanan, keadilan, dan ketakwaan. Seorang pemimpin tidak hanya bertugas mengurus rakyat, tetapi juga harus memastikan bahwa ia dikelilingi oleh orang-orang yang jujur dan shalih. Tanpa penerapan syariah Islam, kekuasaan hanya akan menjadi alat untuk menindas dan menipu rakyat. Amanah kekuasaan harus dijalankan dengan prinsip-prinsip Islam agar mendatangkan keberkahan bagi umat dan menghindarkan diri dari kehancuran.
Hikmah:
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Isra' Ayat 16:
وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا
16. Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).
0 Komentar